Pelanggan Baru

Aku baru selesai membereskan gelas-gelas bekas pelanggan kala seorang pria asing ragu-ragu memasuki kedaiku. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala sembari mempersilahkan pria itu masuk.

Sekilas kuamati dia. Tubuhnya sedikit pendek untuk ukuran pria umumnya, tetapi masih sedikit di atas tinggi badanku. Rambutnya tipis dan sudah berwarna putih.

Pakaiannya terlihat kucel seperti belum disetrika. Ia memilih tempat duduk di pojok kanan, dekat jalan. “Nyuwun1 tehnya, Mbak,” pesannya kepadaku.

Aku mengangguk dan bergegas membuatkan pesanannya. Sambil menunggu teh yang kuseduh berubah warna menjadi cokelat pekat, aku mengamatinya lagi. Kurasa umurnya sekitar enam puluh tahun, sepuluh tahun di atasku.

Ia mengeluarkan ponsel dan mengusapnya dengan selampai yang kusediakan di meja. Sejenak ia mengamati permukaan telepon untuk memastikan kacanya cukup jernih.

Kemudian, jari telunjuk kanannya mulai memencet-mencet tombol keypad2. Gerakan ibu jari yang bergerak perlahan membuatku gemas. Kubayangkan lawan yang menunggu lama menantikan balasannya.

Pria itu menolehkan kepala ke arahku. Mungkin ia merasa aku mengamatinya. “Sekedap nggih3,” kataku mencairkan ketidaknyamanan tepergok. “Mau gorengan, Mas?” tanyaku lagi.

Pria itu mengangguk dan aku pun segera menyodorkan aneka penganan yang ada di kedaiku. Sementara dia menyantap gorengan, aku segera memberikan teh yang telah kusiapkan dalam gelas besar.

Yah, aku sengaja menggunakan gelas besar agar pengunjung berlama-lama di kedaiku dan kemudian menambahkan menu lain dalam pesanannya.

- Iklan -

Pria itu datang lagi keesokan hari di jam yang sama, sekitar pukul sepuluh pagi. Kemarin dia memuji teh buatanku. Mungkin itu yang membuatnya kembali lagi ke kedaiku.

Aku memang mencampurkan beberapa jenis merek teh agar muncul cita rasa yang sedikit berbeda. Sebagai penggemar teh, itu cara kreatifku. Bersyukur pelangganku di kompleks perumahan ini menyukainya.

“Rumah jenengan4 di mana, Mas?” tanyaku berbasa-basi saat ia memesan menu yang sama wedang teh dan pisang goreng.

Pertanyaan standar yang biasa kutanyakan kepada pembeli. Aku senang mengenal pelanggan. Aku tak berkeberatan mereka berlama-lama hanya untuk duduk memesan wedang teh.

Lah, meniko5. Dekat, kok.” Pria itu mengarahkan jempolnya ke sebuah rumah yang hanya berjarak dua rumah dari kedaiku.

“Oh, jenengan yang baru pindahan itu, ya,” ucapku memastikan.

Pria itu mengiyakan ucapanku lalu kembali memilih tempat di pojok kanan. Tempat itu memang lebih leluasa untuk duduk sambil menikmati pemandangan yang terhampar di depan kedai.

Sebuah danau yang tidak terlalu luas di seberang, memberikan kesejukan tersendiri. Di sekelilingnya ada lintasan lari yang biasa digunakan orang untuk berjalan ataupun berlari santai.

Beberapa kedai minuman dan makanan juga tersedia di sana, tetapi baru di sore hari ramai dikunjungi orang. Aku sendiri memilih berjualan di pagi hari, sekadar memenuhi kebutuhan orang-orang di kompleks sekitar.

Sejak itu, pria yang kukenal pendiam itu menjalankan ritual paginya untuk menikmati segelas teh dan beberapa penganan sambil menyibukkan diri dengan ponselnya. Aku menduga ia mempunyai teman akrab.

Sebab sehabis melihat ponsel, ia tersenyum dengan mata yang berbinar-binar dan kemudian menuliskan sesuatu. Sepanjang menulis, senyum tipis tersungging di bibirnya yang tebal menghitam. Kadang-kadang aku geli sendiri melihatnya.

Aku tidak banyak mengenal pria yang hemat bicara dan lebih memilih menikmati teh dan ponselnya. Yang kutahu, ia tinggal sendirian di rumah itu.

Seorang pria tua yang membunuh rasa kesepian dan kesendirian di kedaiku. Setidaknya begitulah penangkapanku.

Pagi ini warungku agak sepi. Aku melayangkan pandang di seputar warung kalau-kalau ada yang belum rapi. Mataku tertumbuk pada meja di pojok, tempat pelanggan baruku biasa duduk.

Sudah seminggu ini aku tidak melihatnya datang. Aku juga tidak melihat pria itu keluar masuk rumah dengan motor bututnya. Jarak rumah yang berdekatan memungkinkanku mengetahui gerak-gerik pria asing itu.

Entah mengapa, ada rasa sepi yang tak biasa. Sekelebat, pria itu seperti bapak. Tentu lebih tua bapak, tetapi aura sepi yang muncul dari mata mereka, persis sama. Sejak kematian ibu, bapak tinggal di rumah sendirian.

Beliau menolak tinggal bersama anak-cucu. Selain beralasan masih kuat, bapak tidak ingin meninggalkan kenangan hidup bersama ibu di rumah yang mulai melapuk.

Saat aku pulang setahun lalu, beberapa dinding yang kusam mulai luruh dimakan waktu. Betapapun kami merayunya, Bapak bersikeras hidup sendirian.

Aku sendiri sangat ingin pulang, tetapi keuanganku tidak memungkinkan untuk pulang sesering yang aku inginkan. Dengan hidup berhemat, aku hanya bisa pulang setahun sekali. Namun, pandemi membuatku harus menahan diri.

Pandemi membuat orang takut beraktivitas di luar. Dampaknya, tentu saja warungku menjadi sepi. Apalagi saat ini suamiku baru saja di PHK. Tidak banyak pembangunan dilakukan di masa seperti ini.

Akibatnya, tawaran untuk menjadi mandor bangunan nyaris tidak ada. Sementara itu, biaya kedua anak kami yang berada di SMP dan SMA lumayan besar.

Aku harus menyediakan perangkat belajar online dan kuota yang cukup menguras kantong.

Terpikir olehku untuk menghubungi Bapak ketika tiba-tiba suara sirine mengagetkanku. Kehebohan terjadi di pagi itu.

Aku melihat petugas kepolisian dan ambulans datang ke rumah pria tua itu. Tak berapa lama kemudian, beberapa orang mengangkat kantong jenasah dari rumah itu.

Hatiku berdegup kencang. Aku berusaha mencari tahu dari beberapa pelanggan yang ada saat itu, tetapi tidak seorang pun mengetahuinya.

Keesokan harinya beberapa pelanggan bercerita tentang kejadian kemarin. Seseorang yang berambut keriting bahkan bertanya apakah aku mengenal almarhum.

Aku mengangguk mengiyakan. “Kasihan bapak tua itu, ya, Bu. Tidak ada istri, tidak ada anak-anak. Hidup sendirian. Mati pun sendirian. Tidak ada yang mengetahuinya.”

“Apakah tidak ada keluarga yang bisa dihubungi?” tanyaku ingin tahu.

“Waktu ponsel dinyalakan, ada satu nomor yang sering dihubunginya. Tapi waktu ditelepon, yang menjawab orang lain. Ngakunya, sih, keponakan pemilik nomor itu. Pemilik asli nomor itu adalah seorang perempuan yang baru meninggal karena Covid. Ia meninggal tepat di hari bapak itu meninggal,” kata salah satu dari mereka.

Aku tak habis berpikir mengenai kondisi pria itu di saat-saat akhir. Namun kisah tragis itu menyentakku. Aku melupakan sesuatu yang penting kemarin.

Bergegas aku memencet nomor yang nyaris terlupakan. Sebuah suara yang tidak asing terdengar dan membuatku rindu pulang. Dengan tergesa aku menanyakannya, “Bapak baik-baik saja, kan?”

Palembang, 30 Oktober 2021

Penulis : Caecilia Sri Hatmani

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU