Pada salah satu hadist Rasulullah Muhammad SAW, ada solusi saat mengalami kesulitan hidup, apa pun bentuknya. Lalu apa solusinya ? Pendekatan spiritual merupakan solusi atau pertolongan yang paling utama, yakni segera memohon pertolongan kepada Allah.
Sebab, Dia-lah yang mengatur urusan langit dan bumi, termasuk hidup manusia yang fana ini.
Sikap mengeluh dan putus harapan tidak sepatutnya terjadi pada diri kita sebagai seorang mukmin.
Apalagi berprasangka buruk terhadap ketetapan Allah. Sebab, pertolongan-Nya adalah sangat dekat (QS al-Baqarah [2]:214). Selain itu, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan (QS al-Syarh [94]:5).
Selain dekat, pertolongan Allah itu sungguh maha dahsyat. Manakala pertolongan Allah itu sudah turun, tidak ada seorang pun yang mampu menahan dan mencegahnya.
Bahkan, sesuatu yang dipandang mustahil oleh manusia justru bisa terjadi melampaui nalar dan rencananya. Allah Maha Kuasa, Pengasih, dan Penyayang.
Hebatnya pertolongan Allah ini di abadikan dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Yaitu, ketika pertolongan yang menakjubkan itu turun kepada orang-orang atau segolongan umat yang diridhai-Nya.
Misalnya, vonis hukuman mati dengan cara dibakar yang dijatuhkan kepada Nabi Ibrahim AS oleh Raja Namrudz. Namun, dengan pertolongan-Nya, api yang akan membakar Nabi Ibrahim menjadi dingin (QS al-Anbiya [21]: 69).
Simak lagi kisah semisalnya, yakni armada pasukan gajah besutan Abrahah yang hendak menghancurkan bangunan Ka’bah. Betapa kuatnya pasukan musuh itu sehingga pemimpin dan penduduk Arab tidak berdaya untuk mempertahankan bangunan sucinya dari serangan tersebut.
Namun, situasi getir yang dirasakan bangsa Arab pada waktu itu mendadak berubah saat pertolongan Allah tiba.
Berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa maka dikirimnya kawanan burung yang kemudian melempari gerombolan bergajah itu dengan batu-batu yang berasal dari (sijjin) tanah yang dibakar.
Dalam sekejap, bala tentara Abrahah itu kocar-kacir dan binasa. Kebinasaan mereka diumpamakan seperti daun-daun yang dimakan ulat (QS al-Fiil [105]: 1-5).
Akhirnya, Baitullah (rumah Allah) yang dibangun oleh baginda Nabi Ibrahim dan Ismail pun aman dan selamat. Hingga kini rumah ibadah itu masih utuh. Bahkan dikunjungi jutaan manusia dari penjuru dunia, terutama setiap musim ibadah haji.
Peristiwa penting dan berharga dalam kisah-kisah tersebut menyampaikan spirit dan pesan berharga kepada kita bahwa persoalan hidup yang harus dialami oleh orang-orang terdahulu begitu berat dan sulit. Di sisi lain, peristiwa tersebut juga menunjukkan betapa besarnya pertolongan Allah.
Disadari, masyarakat bangsa kita masih dilanda berbagai macam permasalahan, malah makin bertambah banyak. Mulai dari bencana alam, wabah penyakit, kebodohan, kerusakan akhlak, pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, narkoba, pejabat korup, ketidakadilan, krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, hingga konflik horizontal.
Kompleksnya permasalahan di atas tentu bisa menjadi ujian, cobaan, dan teguran kolektif. Oleh sebab itu, dalam kondisi seperti ini, setiap individu Muslim dituntut agar banyak berzikir, beristighfar, berusaha dan berdoa, memohon pertolongan Allah dengan sungguh-sungguh, tawadhu dan penuh harap.
Pesimistis, mengeluh, dan galau, apalagi sumpah serapah bukanlah jalan keluarnya sebab hanya mereka yang lemah imannya saja yang sering kali mudah bersikap seperti itu. Pendek kata, pertolongan Allah itu bersifat aksioma, sebagai konsekuensi dari totalitas iman dan ketaatan seorang hamba kepada-Nya.
Karena itu, pertolongan Allah menjadi dekat. Sebaliknya, tanpa kekuatan iman dan sungguh-sungguh berbuat amal kebajikan, pertolongan Allah itu tentu menjadi jauh. Wallahu Al- Musta’an.
Kemudahan di balik Kesulitan
Diceritakan dalam sejarah Islam bahwa Ubaidah ibn al-Jarrah, jenderal yang memimpin tentara Islam dalam pertempuran melawan Romawi, pernah berkirim surat kepada Khalifah Umar ibn al-Khattab menceritakan tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Dalam surat balasannya Khalifah Umar menyuruh Ubaidah agar bersabar dan tahan uji, karena Allah akan memberikan banyak kemudahan di balik kesulitan itu.
Sabar dan tahan uji, serta penuh harap (optimisme) terhadap pertolongan Allah seperti dipesankan Khalifah Umar di atas haruslah menjadi keyakinan kaum beriman. Dalam Alquran ditemukan banyak ayat yang menjanjikan kemudahan di balik kesulitan. Allah berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(Al-Thalaq: 7).
Dalam ayat lain, kemudahan itu dikatakan datang bersama dengan kesulitan itu sendiri. Dengan kata lain, dicelah-celah setiap kesulitan selalu ada kemudahan. Perhatikan firman Allah ini:
فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”(Al-Insyirah: 5-6).
Kemudahan itu, tentu saja tidak datang secara cuma-cuma. Dibutuhkan sekurang-kurangnya tiga syarat untuk mendapatkannya. Pertama, usaha dan kerja keras dari setiap orang yang diterpa kesulitan.
Kedua, sabar dan tahan uji dalam mengatasi dan menanggulangi kesulitan itu. Ketiga, penuh harap dan optimistik bahwa kesulitan itu akan segera berlalu.
Dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah dikatakan bahwa pertolongan Allah pasti datang sebesar bantuan yang diperlukan (nazala al-ma’unah ‘ala qadr al ma’unah) dan kesabaran pun datang sebesar musibah yang menimpa (nazal al-shabr ‘ala qadr al-mushibah).
Sejalan dengan makna hadis ini, Imam Syafi’i pernah memberikan nasihat. Katanya, “Siapa yang meyakini kebesaran Allah, ia tidak akan pernah ditimpa kehinaan.
Dan siapa yang menyandarkan harapan kepada-Nya, pastilah harapan itu menjadi kenyataan (wa man raja-hu yakunu haitsu raja).
Optimisme seperti dikemukakan di atas sungguh penting agar manusia tidak gelap mata melihat masa depan. Manusia pada umumnya mengambil dua sikap dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup.
Pertama, sikap patah semangat dan putus asa. Sikap ini tentu bukan sikap dan watak dari seorang yang beriman.
قَالَ وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِۦٓ إِلَّا ٱلضَّآلُّونَ
“Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang sesat.” (Alhijr: 56).
Kedua, sikap penuh harap (optimisme) disertai instrospeksi dan mawas diri. Orang yang mengambil sikap ini tidak pernah menimpakan kesalahan kepada pihak lain, apalagi kepada Tuhan.
Ia tidak pernah berprasangka buruk (su’u zh-zhan) kepada Allah meski doa yang setiap saat dipanjatkan belum juga terkabul. Ia justru mengevaluasi diri kalau-kalau perjuangan dan doa yang dilakukan belum optimal.
Dalam soal doa ini barangkali perlu disimak nasihat seorang pujangga. Katanya, “Kalau di tengah kegelapan malam Anda meminta siang hari datang, berarti permohonan Anda sia-sia. Tapi bila kepekatan malam telah mencapai puncaknya, pastilah fajar segera menyingsing, dan dalam kecerahan fajar itu, banyak hal bisa Anda lakukan.”
Jadi selain berdoa kita harus jihad dan kerja keras dan terus bekerja keras tanpa kenal lelah. Ketika itu, kemudahan pasti akan datang, dan badai pun pasti berlalu. (P/wa/ana)