Sebuah kisah; seorang anak kampung yang kedua orang tunya lengkap tapi hidupnya serasa anak yatim piatu, sejak lahirnya ia ditinggal oleh kedua orang tuanya lantaran perceraian, sehingga si anak itu diasuh oleh kakek dan neneknya yang sudah berusia senja.
Sejak kecil anak itu tidak pernah merasakan buaian manja kasih sayang dari kedua orang tuanya, selayaknya anak-anak pada umumnya, digendong dan dimanja oleh kedua orang tuanya yang mencintainya sebesar-besarnya, dinyanyikan sembari diayung saat menjelang tidur dan tak lupa memanjatkan doa kepada Sang Pengasih dalam setiap solatnya, meminta anaknya diberkati rahmat dan ketika besar menjadi orang besar.
Sungguh jauh berbeda dengan nasib hidup yang menimpa si anak itu, terlebih saat ia ditinggal oleh kakek dan neneknya untuk waktu yang selamanya, menumpang sana sini sekedar untuk makan, bahkan terkadang kawan-kawannya yang berbaik hati bergantian membawakan makanan kerumah kosong tempat dimana si anak itu merebahkan tubuhnya ketika tidur, berteduh dan melamunkan mimpi-mimpinya.
Akan tetapi justru si anak itu merasa beruntung karena dengan segala kepahitan itulah, si anak itu mendapat pelajaran hidup yang sangat berarti dalam hidupnya pada masa-masa desawasanya saat ini. Adalah pelajaran yang tak terlihat oleh mereka yang terbuai dalam kemanjaan hidup.
Si kakek, sebelum kepergiannya untuk selamanya kembali pada ketiadaan hakekat permulaan manusia sebagai mahluk hidup, kepada cucunya yang telah duduk dibangku sekolah dasar kelas VI pada saat itu, ia memberikan pesan yang mengesankan arti pendidikan sesungguhnya, dalam bahasa Mandar si kakek menuturkan; “kambe passikola tongano’o, mala to’ao di’o jari tau, ma’guna lao diparammu rupa tau: cucu sekolah-lah yang serius, siapa tau kamu bisa menjadi manusia, yang dapat berguna bagi sesamamu.”
Sebuah pesan, yang terus tertanam kuat di dalam jiwanya, menjadi warisan peninggalan yang terus bergema dalam kesadarannya, membangkitkan semangatnya tanpa kata surut dalam mengarungi dunia pendidikan demi satu harapan, dapat menjadi manusia sebagaimana kehendak pendidikan yang diajarkan oleh para tetuah terdahulu bukan agar menjadi pegawai, dokter atau polisi, akan tetapi menjadi tau malaqbi (manusia agung).
Namun, kenyataan yang ia temukan dalam dunia pendidikan formal saat masih duduk dibangku sekolah tinggi menengah keatas, menyadarkannya bahwa ini tidak akan pernah dapat menjadikannya manusia sebagaimana kehendak pendidikan yang dikesankan oleh para tetuah atau seperti yang dipesankan oleh kakeknya.
Sekolah yang hanya sibuk memacu anak-anak muridnya untuk bersaing mendapatkan nilai tinggi bukan memahami, sibuk memastikan anak- anak murindnya menulis saat guru mendiktekan sebuh pelajaran, tanpa penjelasan yang memadai.
Bagaimana tidak sebab guru hanya menjelaskan berdasarkan apa yang tertulis dibuku bukan berdasarkan apa yang ia pahami dalam pembacaannya, ahkirnya lebih terlihat seperti orang yang sedang mendongeng ketimbang sebagai guru, atau seperti orang yang sedang berkhotbah yang hanya menunduk berfokus pada bunyi yang ada dalam buku tanpa pernah menatap kedepan kecuali saat mengucapkan assalamualaikum.
Tiga tahun, dilalui tanpa peredaran isi kepala, rutinitas tanpa kreativitas, setiap hari selalu pulang membawa sampah-sampah hafalan yang diberikan oleh guru-gurunya, ialah 1+1 = 2 tanpa mengajarkan apa arti pentingnya hitungan bagi hidup, dapatkan dengan mempelajari hitungan hidup menjadi mulia? dan sebagainya, yang kemudian merangsang anak-anak untuk berfikir lalu memahami bukan mencatat lalu menghapal.
Dalam kenyataan tersebut si anak itu berkata; bila pendidikan berfungsi untuk mencerdaskan atau memanusiakan, maka yang kulalui selama 12 tahun bukanlah pendidikan yang sesungguhnya, tetapi hanyalah PENDIDIKAN SEOLAH-OLAH.
Tidak jauh berbeda dengan kampus, tempat dimana si anak melanjutkan studinya dengan niat hati yang masih sama, adalah ingin menjadi seperti yang pernah disampaikan kakeknya tempo dulu, ialah “tau malaqbi.” Tetapi kemungkinan tersebut juga tak terlihat di kampus, tidak memberikan harapan. Hal tersebut diperkuat saat si anak melihat kampus berupaya menyeragamkan mahasiswa dengan standar-standar ukuran yang telah diasosiasikan untuk dicontoh oleh semua mahasiswa.
Kampus hanya sibuk memastikan seluruh mahasiswanya berpakean rapih ketimbang memastikan perminggu seluruh mahasiswanya harus menamatkan satu buku, bahkan soal jilbab hingga makeup pun diatur. Dapat dibayangkan betapa paradoksnya kampus itu, kampus filsafat yang setiap hari mengajarkan pemikiran-pemikiran kritis dan bertujuan untuk melahirkan “generasi yang mampu berperan dalam memajukan kemanusiaan dan pencerahan pemikiran berdasarkan Islam,” malahan sibuk memantau soal- soal remeh temeh.
Bahkan yang terburuk pun dilakukan adalah selalu mewajibkan seluruh mahasiswa untuk menghadiri setiap kegiatan yang digelar oleh kampus, tanpa memerdulikan bahwa mahasiswa punya pilihan, dan mereka berhak untuk menolak bila dirasa kegiatan itu tidak menarik atau tidak bermutu.
Namun sayangnya hal tersebut tidak dapat dilakukan, sebab jika berani maka jatah makan akan distop dalam waktu beberapa hari atau bahkan diskorsing dari asrama. Karena itulah si anak tesebut selalu berkata pada teman-temannya; “lampaui kampus, jika tidak maka kalian tidak akan membawa arti apa-apa ketika selesai, kecuali orang yang merasa pintar karena ijaza menuliskannya begitu (Jazuli Imam).”
Ingatlah, bahwa moral kampus tidak terletak pada pakaian rapi mahasiswa, akan tetapi terletak dikepalanya.
Sebuah karya cerpen berjudul ‘PENDIDIKAN SEOLAH-OLAH’ oleh Rajib Al Nujud yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan