Penjual Gorengan di Pagi Hari

Pagi masih belum pergi. Di usiaku sekarang, aku sudah menginjak umur tujuh belas tahun, sepuluh jam yang lalu, usia yang sangat matang di masa remaja. Kamar ini sudah rapi, yang sebelumnya berantakan seperti kapal pecah. Memang ada yang usil di kala seperti ini dengan menghamburkan semua barangku di semua penjuru.

“Adik, ayo isi perut bersama!” pemuda usil berwajah tentram muncul di ambang pintu, ditambah dengan senyuman manis terukir dengan jelas. Aku hanya mengangguk seraya membalas senyumannya. Kata mama, senyuman bisa menenangkan jiwa.

Ada kalanya orang yang hendak berbuat kejahatan, urung karena senyuman. Ada kalanya orang yang murung, tiba-tiba lenyap karena senyuman. Dengan senyuman hari menjadi lebih indah. Apalagi pemberian yang paling murah adalah senyuman, bukan?

Langkah kaki menggema setelah perkataan itu usai. Dua pasang kaki yang berirama menapaki petak demi petak lantai biru hingga terganti dengan rerumputan hijau yang menawan. Tempat dimana kami selalu berkumpul.

Zona kebahagiaan mulai terdengar. Didukung dengan kicauan burung menyanyi. Pemuda yang menjemputku tadi duduk di antara laki-laki yang raut wajahnya menandakan umur empat puluh tahunan dan perempuan cantik yang usianya tak jauh dari sang laki-laki. Senyuman mereka masih mengembang di antara makanan yang tersaji di depan mereka. Suasana ini benar-benar membahagiakan.

Tanpa dipandu, aku berhambur ke arah mereka. Mereka yang luar biasa selama tujuh belas tahun silam. Aku sangat bahagia memiliki mereka, mereka yang selalu menyayangiku, menjagaku, yang khawatir akan keadaanku. Rasanya mereka mengorbankan semuanya, ya … semuanya. Tujuh belas tahun yang sempurna. Apalagi dilengkapi dengan pemuda tadi, dia kakak terbaik.

“Ayo! Adek sudah lapar,” rengekku. Mereka langsung menandatanganinya dengan cepat. Beraneka ragam makanan yang tersajikan siap dilahap dengan penuh syukur. Ini masakan mama yang mengalahkan masakan restoran mana pun di dunia.

“Sayurnya dimakan, Sayang,” kata mama menyuguhkan sayur berkuah padaku dan Kak Re.

“Papa mau juga dong.” Suara baritonnya terdengar jelas.

- Iklan -

Tentang mama, dia sangat penyayang, dan paling sabar. Dia selalu sigap dengan pekerjaan rumahnya. Sekali-kali aku membantunya memasak, atau pun mencuci. Mama juga yang selalu membuat kita tersenyum di setiap harinya. Tidak apa-apa, Sayang, kata itu yang selalu keluar dari mulutnya meski dirinya lelah. Dia adalah perempuan terhebat yang pernah aku kenal.

Pernah suatu ketika, saat aku hendak ingin pergi membeli buku tentang matematika, aku mengajak mama untuk menemaniku karena papa dan kakak tidak ada di rumah. Mama mengangguk dan langsung bangkit dari tempat tidurnya. Padahal dia sangat lelah atau bahkan pusing, tapi aku menyadari hal seperti  itu ketika mama sudah berbaring lagi di tempat tidurnya, kulitnya memerah karena panas. Aku panik dan langsung menelepon papa agar cepat pulang dari kantornya.

Tentang papa, meskipun terkesan cuek, aku yakin dia sangat perhatian pada kami. Papa selalu memberikan yang terbaik buat kami. Selalu memberi semangat hingga kami tak pernah patah semangat. Selalu memberi kejutan yang luar biasa di hari yang tak terduga.

Apalagi punggung papa sangat kuat menahan segala beban. Sangat bijaksana apalagi terkait dengan mana yang salah dan mana yang benar. Sangat sigap ketika ada permasalahan yang harus diselesaikan. Intinya papa adalah laki-laki terhebat yang pernah aku kenal.

Mataku beralih pada pemuda yang masih berumur delapan belas tahun. Biasanya aku memanggilnya Kak Re. Jika semua orang di rumah ini menyayangiku dengan perhatiannya, Dia tidak. Dia sangat menyebalkan. Meski seperti itu, Kak Re sering membelikanku apa yang aku mau. Sering mengajariku akan pelajaran yang tidak kumengerti.

Apalagi soal Bahasa Indonesia, dia jagonya. Dan dia adalah orang yang selalu mencariku jika kehadiranku tidak ditemukan. Aku rasa kami keluarga paling bahagia sedunia. Ya … seperti saat ini, saat kami sudah selesai makan. Kak Re malah mengotori pipiku dengan bumbu merah sisa ikan tadi. Tanpa merasa bersalah dia malah menjewer ke arahku.

Tiba-tiba bangunan kebahagiaan yang dibangun hari ini benar-benar runtuh dalam sekejap. Kau tahu, mama yang paling penyayang tiba-tiba mengucapkan kalimat ini dengan lirih. Seraya tangannya memegang tanganku. “Sayang, kau sebenarnya bukan bagian dari kami. Kau harus tahu perihal itu. Kau sudah besar, Sayang.

Kami menemukanmu di depan rumah, bayi mungil itu menangis mencari perlindungan, untung kakakmu sangat baik mengatakan pada mama kalau ada adik baru di luar sana. Tapi percayalah, kami sangat menyayangimu, sangat. Jadi jangan bersedih hati, kau sudah kami anggap sebagian dari kami sejak tujuh belas tahun silam.” suasana menjadi mendung seketika.

Kata-kata yang meleburkan hati yang bahagia. Tidak, aku tidak boleh bersedih. Aku harus tersenyum di depan mereka. Sekarang mereka memelukku erat, sangat erat. Aku merasakan bahwa mereka menyalurkan rasa kasih sayang kepadaku dengan tulus. Pantas saja, semua orang bilang bahwa aku tidak ada kemiripan sama sekali dengan mereka.

Mereka yang memiliki hidung pesek, aku tidak. Mereka yang memiliki mata lebar, aku tidak. Mereka yang suka daging, aku tidak. Ah … Aku kira selama ini kemiripanku sama dengan nenekku dulu. Yang memang sejak lahir tidak aku jumpai di dunia ini.

Sudahlah, mungkin nanti malam aku akan menangis sepuas-puasnya di balik selimut. Tak lupa aku harus mengunci pintu agar tidak ada yang tahu bahwa aku menangis. Sekarang aku harus membuat mereka bahagia. Aku harus tersenyum.

Mereka sang malaikat dari Tuhan yang begitu baik. Aku yang bukan bagian dari mereka sendiri, merasa seperti bagian dari mereka. Apalagi mama. Sangat romantis, nyaman dan syahdu. Aku tak tahu harus mengungkapkan seperti apa. Bagaimana dengan Kak Re yang memang bagian dari mereka?

Tiba-tiba perempuan yang raut wajahnya mulai berkeriput datang sekonyong-konyong. Menyihir suasana menjadi sunyi seketika dan membuat kami melepaskan pelukan yang syahdu di pagi hari ini. Bajunya yang sederhana dan rambut panjangnya terikat menjadi satu di belakang kepalanya. Sekarang raut wajahnya dipenuhi rasa penyesalan.

Meski begitu, guratan kecantikannya masih nampak meski belum mengalahkan kecantikan mama. Kami kenal perempuan itu. Ada apakah gerangan? Apakah gorengan yang kita pesan telah habis?

“Maafkan saya.” tubuhnya menunduk menghampiri kami, lebih tepatnya disampingku. Matanya yang berlinang sedang menatapku dalam, hingga aku tak bisa bergerak dan berkata- kata. Aroma gorengan tercium menyeruak dari tubuhnya. Kenapa Bu Maya? Kenapa dia seperti ini? Tanpa dipandu, dia memelukku hangat, sangat hangat. Menyembuhkan luka yang baru datang menghilang seketika.

Kami mengenal wanita ini dengan sebutan Bu Maya. Dia wanita baik dan ramah. Ketika kami membeli gorengan di rumahnya, pasti dia memberikan bonus, bahkan gratis. Suaminya bekerja sebagai buruh tani.

Anaknya masih seumuran anak kelas tiga SD. Pastilah anaknya itu yang sering mengunjungi rumah kami hanya sekedar memberikan sebungkus gorengan. Sekarang, entahlah kenapa dia memelukku seperti ini.

“Bukannya ibumu tak sayang padamu, Nak. Tapi, dia tak ingin kamu nelangsa. Bukannya ibumu tak cinta padamu, Nak. Tapi, dia tak ingin kamu menderita. Ibumu hanya ingin kau bahagia. Ibumu hanya ingin kau ceria. Jangan bersedih, Nak. Jangan kecewa. Jangan kau membenci cerita ini, semuanya sudah berlalu. Janji, Nak. Tetap sayangi ibumu. Ibumu hanya memikirkan yang terbaik untukmu.”

Perkataan panjang Bu Maya membuatku lemah tak berdaya. Semula aku ingin menahan kesedihanku, untuk ini, tidak! Air mata telah keluar sederas-derasnya, menggugu. Semuanya menangis, semuanya meratapi, merenungi. Bahuku pun basah oleh air mata. Pelukan hangat semakin erat. Hari ini benar-benar basah oleh air mata.

***

Hari semakin pudar. Setelah satu minggu berlalu, hatiku telah tenang setelah kisah yang sesungguhnya diungkapkan. Hari masih pagi. Sebuah rumah sederhana tepat tiga meter di depan rumahku telah kupandangi sejak lima belas menit yang lalu. Aku ingin berkunjung ke rumah itu. Rumah yang selalu aku kunjungi ketika ingin membeli gorengan. Pelan-pelan kakiku melangkah. Pintu yang selalu terbuka segera kumasuki. Aroma gorengan menyeruak masuk ke dinding hidung, mungkin Bu Maya lagi menggoreng gorengan baru.

Tepat di ruang utama. Sambutan hangat terlihat dari kedua matanya yang berbinar. Senyumnya yang merekah. Kulitnya yang tak segar lagi. Kakinya yang tidak berfungsi lagi. Membuat dirinya harus tetap duduk di kursi kayu yang mulai melepuh. Aku berlari lalu memeluknya hangat, menangis tersedu-sedu, dia pun ikut menangis. Tangannya mengelus pundakku pelan. Namanya Nazalah, nama yang bagus.

“Maafkan Ibu, Sayang,” ucapannya yang serak masih terulang-ulang. Kata menenangkan yang keluar deras dari bibirnya. Dia yang tak pernah aku panggil Ibu. Dia yang tak pernah aku peluk. Dia yang tak pernah aku cium tangannya. Dia yang tak pernah aku perhatikan. Dia yang tak pernah aku rawat di kala sakit seperti ini. Aku tak bisa berkata-kata lagi.

Selama ini, aku mengetahuinya sebagai penghuni rumah ini, salah satu saudara Bu Maya, sang penjual gorengan. Selama ini, aku tahu bahwa dia yang selalu tersenyum ketika aku membeli gorengan. Dia yang selalu menatapku dengan mata berbinar ketika aku melewati rumah ini. Dia yang selalu memberiku gorengan ketika aku berangkat sekolah. Dia yang selalu menyapaku ketika datang bermain.

Dulu, saat aku masih berumur sepuluh tahun. Aku berlari-lari tanpa memperhatikan sekitar, hingga sepeda berwarna biru menyerempetku membuatku terjatuh dan meninggalkan luka di kedua sikuku. Aku meringis seketika kemudian terdengar dari kejauhan seseorang menangis.

Dan aku melihatnya, orang itu adalah wanita yang selalu duduk di kursi itu. Matanya basah oleh air mata, seraya mulutnya memanggil nama Maya. Untung Kak Re datang untuk memapahku masuk ke rumah sebelum Bu Maya menghampiriku. Dan aku selalu bertanya, kenapa dengan wanita itu? Apa yang terjadi dengannya?

“Aku sayang Ibu,” hanya kata itu yang benar-benar lolos dari mulut kakuku, kata yang membuat semua orang menaruh rasa kepercayaan besar terhadap orang yang mengucapkan. Aku akan menjaga kepercayaan seorang ibu yang baru aku kenali. Aku akan menjadi anak yang baik dan berbakti untuknya, hanya untuknya.

“Ibu juga sayang padamu, Nak. Kau bahagia kan?”

Kemudian, aku merasakan dia melemas dan beban tubuhnya bertumpu padaku. Aku melepaskan pelukannya dan melihat apa yang terjadi. Mata sayunya memejam hangat. “Ibu. !”

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Penjual Gorengan di Pagi Hari’ oleh Rizka Laili Ramadhan yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU