Ku lihat kakakku sedang mengintip sesuatu dari lubang kayu itu. “Ayo sini, mau lihat juga tidak, Mien?” tanya kakakku
Aku mulai mendekatkan diri ke lubang kayu itu, aku melihat dua orang berseragam, kulitnya berwarna putih dan membawa senjata, mereka sedang asik memetik buah mangga yang ibu ku tanam sejak aku belum lahir.
“Kak, aku juga ingin mangga itu,” ucap ku merengek.
“Stt.. Jangan berisik, nanti tentara Jepang menemui kita,” kata kakakku sambil menutup mulutku pelan.
“Tapi mengapa kita tidak mengusirnya saja ka? Itu kan pohon ibu..” ucap ku polos kala itu.
“Sudah ibu bilang jangan bermain disini!, ibu kan sudah mengucapkannya berkali-kali Mien.. Ban.”
Ya, Bandrio adalah nama kakakku, sejak tentara Jepang mulai memerangi negara ini, aku cukup akrab dan dekat dengan kakakku.
“Ayo, kita akan mengungsi ke Jogja karena daerah disini sudah tidak aman lagi” ajak ibu kepada kita.
Mendengar hal itu, aku sedikit bingung “Tapi, bagaimana dengan rumah kita bu?” tanya ku.
Ibu hanya diam saja sambil menggandeng tangan kakakku, dan aku di gandeng oleh kakakku.
Saat diperjalanan aku haus sekali, persediaan minum ku sudah habis sejak sehari yang lalu, kakakku yang selalu memberi ku minum. “Apa kakak tidak haus?” tanya ku heran, karena tidak pernah aku melihat kakakku meminum airnya, setiap kali aku bertanya seperti itu, dia akan memberi ku airnya, karena ia kira mungkin aku haus.
Hingga ketika di pegunungan, kita menemukan sebuah sumur, ibuku segera mengambilkannnya untuknya, kemudian kakakku mengambilkannya untukku, baru dia minum.
Sumur itu rasannya sangat lezat, aku sangat menikmati tiap ceglukan yang ku minum, tidak lupa kakakku mengisi botol minumnya dan botol minum ku.
Hari mulai gelap kita sudah dekat dengan pedesaan paman, bibi mengajak kakakku untuk mandi di sungai, dan tentu saja kakak mengajakku, “Mommyy, aku di lempari batu sama Mien” tuduh sepupuku, Kharen kepada Mommynya.. dia memiliki darah German, tidak heran namanya cukup asing bagi para asia sepertiku.