Puasa Arafah merupakan ibadah sunnah yang ditekankan untuk dilakukan pada 9 Dzulhijjah. Namun, Idul Adha 2023 akan dilaksanakan pada hari yang berbeda antara Indonesia dan Arab Saudi.
Dilansir dari Haji News, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah menetapkan Idul Adha pada Kamis, 29 Juni 2023. Idul Adha 2023 jatuh pada Rabu, 28 Juni 2023 di Mekkah, Arab Saudi. Kondisi ini membuat hari khusus berbeda untuk puasa Arafah.
Umat muslim Arab Saudi yang tak berhaji tahun ini dipastikan akan lebih dulu menunaikan ibadah puasa Arafah 9 Dzulhijjah. Puasa Arafah akan bertepatan dengan jemaah Haji yang akan wukuf sejak Ba’da Dzuhur hingga menjelang Maghrib di bukit Arafah.
Sementara itu di Indonesia sendiri puasa Arafah akan terjadi pada 28 Juni 2023, atau 10 Dzulhijjah di Mekkah. Hal ini menjadi polemik karena terdapat sabda Nabi Muhammad SAW yang menyebut dilarang berpuasa saat hari-hari Tasyrik.
Hari-hari Tasyrik disebut sebagai hari orang-orang makan, mengingat terdapat momentum memotong hewan kurban. Mengenai hal ini Ustadz Adi Hidayat coba membedah permasalahan terkait perbedaan puasa Arafah di Indonesia dan Arab Saudi. Menurutnya masalah ini sangat penting untuk dipecah agar umat Islam khususnya di Indonesia tidak kebingungan.
Awalnya Ustadz lulus S2 Islamic Call Collage, Tripoli, Libya ini membawakan sepenggal Hadist riwayat Muslim nomor 1162 terkait pelaksanaan puasa Arafah dan keutamaannya. “Hadist Muslim nomor 1162 dari Abu Qatadah Al Ansori, Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Dari Abu Qatadah semoga Allah berikan ridho pada beliau menyampaikan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa di hari ‘Arafah. “Hari arofah itu tanggal berapa? 9. Ingat ya, suka agak keliru, sebagian orang mengatakan shoum arofah. Kalau cuma disebutkan, Nabi mengatakan syiam Arafah, puasa arofah,” ujar UAH.
Kata UAH, jika pemahamannya merujuk kepada momentum, maka puasa Arafah bertetapan jemaah Haji wukuf di Arafah, Mekkah. “Arafah itu menunjuk pada momentumnya, ya momentum orang wukuf. Jadi kalau bahasanya puasa ‘arofah, maka gak ada penafsiran.
Tetapi kata Ustadz Adi Hidayat, pemahaman dari sabda Nabi Muhammad tersebut dinilai kurang tepat. Sebab, perkataan Nabi Muhammad bukan mengarah kepada momentum, melainkan waktu pelaksanaannya.
“Tapi kalau menggunakan ‘Yaum’, Yaum itu disebut ‘Dzor fuzzaman, ya. Huruf yang melekatkan sesuatu pada waktunya, bukan momentumnya, menunjuk pada waktu, ya. “Jadi Yaum itu menunjuk pada waktu. Maksudnya apa? Hadist ini ingin menegaskan, puasa ini dilakukan, bukan mengikuti momentumnya, tapi mengikuti waktunya, ya,” jelas Ustadz Adi Hidayat.
Oleh karena itu, kata Ustadz Adi Hidayat, meski jemaah Haji sedang berwukuf pada 9 Dzulhijjah di Arab Saudi, ibadah puasa di negara lain tak ada keterikatan dengan momentum tersebut. “Waktu orang wukuf tanggal berapa, 8 apa 9? 9 ya. Jadi orang wukuf di tanggal 9 Dzulhijjah “Artinya kalau di satu tempat, satu daerah, satu negara sudah masuk ke tanggal 9 Dzulhijjah, sekalipun tidak sama dengan tempat orang wukuf sekarang di Saudi, maka itu sudah harus menunaikan puasanya.
“Jadi jatuh puasanya pada tanggalnya, bukan pada momentum wukufnya. Jelas ya, yang harus diikutkan pada tempat tertentu.
Perhitungan Berdasarkan Zona Waktu
Tak berhenti sampai di situ, perbedaan hari antara Indonesia dan Arab Saudi terdapat hikmah.
Hikmahnya adalah zona waktu di setiap negara berbeda-beda, khususnya di Indonesia, terdapat Provinsi Papua wilayah paling timur dan memiliki perbedaan 6 jam dengan Saudi. Sehingga, kata Ustadz Adi Hidayat, akan terjadi ketidaksamaan pada penetapan tanggal hijriah untuk bulan-bulan tertentu, seperti Ramadhan dan bulan Haji.
“Misal sekarng di Saudi. Misal mohon maaf pemerintah kita menetapkan waktu misalnya, awal Dzulhijjah beda dengan Saudi, misal. Karena zonanya, misalnya ada perbedaan tertentu, dalam hal tertentu, kondisi tertentu, misal saja.
“Maka yang diikuti saat puasa Arafah itu bukan ikut ke yang wukuf, bukan waktu Saudi, tapi waktu di sini.. “Ya, karena zona itu bisa berbeda pak, ya. Saya sering katakan begini, Saudi dengan Indonesia beda berapa jam?
“Antum ngukurnya ke Jakarta 4 jam, di Papua 6 jam. Indonesia itu kan luas dari Sabang sampai Merauke, gitu kan. Masya Allah.“Jadi kalau kita ukur dengan Papua 6 jam, Jakarta 4 jam. Nah sekarang lihat begini misal, ini baru Papua ya, belum negara-negara lain yang bedanya cukup jauh, ya. . “Ketika Saudi menetapkan tanggal 9 Dzulhijjah. Misal, Maghrib di Saudi jam 7, di Papua jam berapa? Jam 1. Udah jam 1 udah dini hari, di Saudi baru Maghrib. Artinya ke Saudi ketika masuk misalnya waktunya jam Subuh misal saja jam 5.
“Jam 5, di Papua udah siang. Bahkan sebagian udah beda waktu. Yang jadi persoalan misalnya kalau Saudi duluan. Saudi sudah tanggal misalnya 9 Dzulhijjah, di sni sebelumnya. Bisa terjadi “Jadi begitu di sana sudah masuk Maghrib, di satu tempat misalnya baru masuk awal tanggal 9, ya. Baru mau subuh, nah gitu kan belum nyambung waktunya berbeda.
“Jadi dari segi penunaiannya, ini kaidah-kaidah dan di sini sepakat, bahkan ulama-ulama Saudi pun memberikan fatwa. Jadi kalau di suatu negara zona waktunya berbeda jauh, tidak terlampau dekat yang bisa melahirkan perbedaan waktu, maka waktu di negara tersebut yang diikuti.
“Kecuali kalau waktunya dekat, sekitaran teluk, gitu kan, UAE, Qatar, bahkan kami sampai ke Libya. Itu kalau Saudi musim haji, sudah ikut waktu Saudi, ya. Nggak ribut-ribut lagi “Kecuali kalau yang masanya cukup agak jauh seperti kita saat ini di beberapa tempat. Jelas ya, jadi nanti kalau pemerintah menetapkan waktu misalnya bersamaan Alhamdulillah. Kalau tidak, ikuti waktu kita, jelas ya…,” tukas Ustadz Adi Hidayat.
Demikian penjelasan Ustadz Adi Hidayat soal perbedaan Idul Adha di Indonesia yang lewat sehari jika dibanding Arab Saudi, dikutip dari tayangan YouTube berjudul; Puasa Arafah Harus Sesuai Wukuf di Mekah atau Keputusan Pemerintah – Ust Adi Hidayat.( Hjii News/ana)