PERCAKAPAN SATU MALAM YANG PENTING

Setiap pagi, warga Desa Lobuk selalu disibukkan dengan berbagai macam kegiatan. Ada yang sibuk mengajar di sekolah, sibuk menjaring ikan di laut, sibuk membuka toko di pasar, dan masih banyak lagi kesibukan warga yang lainnya. Di antara mereka seolah-olah tidak ada waktu untuk duduk bersama dan bercerita panjang lebar tentang banyak hal.

Untungnya, keakraban warga sekitar masih terjaga dengan adanya salam-sapa singkat saat berpapasan di jalan. Entah itu yang lebih muda menyapa duluan, ataupun sebaliknya. Hal ini menjadi bukti bahwa hal kecil seperti sapaan singkat menjadi sangat penting untuk menjaga kerukunan antar sesama. Termasuk seperti yang dilakukan oleh Pak Hasan. Seorang wiraswasta yang membuka toko baju di dekat rumahnya.

“Mau berangkat ngajar Pak?” Tanya Pak Hasan yang sebenarnya sudah tahu jawabannya apa. “Iya Pak, lewat ya, Pak” jawab Pak Bambang dengan senyum ramah.

“Monggo, Pak” balas Pak Hasan dengan senyum yang tak kalah ramah.

Setelah Pak Bambang menghilang dari pandangan, Pak Hasan masuk ke tokonya. Membuka Hp dan membaca berita di beberapa media. Kasus yang paling banyak meningkat di berbagai daerah adalah pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak usia dini. Beberapa pelaku sudah tertangkap. Dan yang lainnya masih proses pencarian dan penyelidikan. Pak Hasan yang membaca berita itu langsung teringat pada anaknya yang masih kecil, namanya Noura.

Tak lama dari itu, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Waktunya Pak Hasan menjemput anaknya di Taman Kanak-Kanak (TK). Sebuah sekolah untuk anak kecil yang mengajari pelajaran-pelajaran ringan sambil bermain. Di sana Noura bisa bertemu dengan teman-teman sebayanya. Ini masih satu tahun pertama Noura di TK.

“Yah, yah, aku mau beli-beli” ucap Noura saat Pak Hasan datang dengan mata penuh harap.

Sebenarnya uang yang ada di saku Pak Hasan sedang pas-pasan. Tapi karena tak tega menatap mata Noura yang ingin sekali beli-beli, akhirnya Pak Hasan pun menuruti apa permintaan anaknya. Perihal uang gampang bisa dicari. Tapi untuk kebahagiaan anak, rasanya Pak Hasan tak bisa menolak.

Setelah belanja beberapa camilan pilihan Noura, Pak Hasan dan Noura langsung pulang. Banyak pekerjaan yang menunggu di rumah. Termasuk merawat sang istri yang sudah satu minggu terbaring di kamar.

- Iklan -

Sesampainya di teras rumah, Pak Hasan tidak melihat satu orang pun di sekitar rumahnya. Suasana benar-benar sepi. Seperti tidak ada kehidupan bermasyarakat. Sejenak Pak Hasan melihat suasana sekitar dan menikmati angin segar. Kemudian masuk menemui istrinya yang sudah terbatuk-batuk di dalam kamar.

“Gimana keadaanmu, Dek?” Tanya Pak Hasan dengan tatapan haru.

Istrinya tak langsung menjawab. Ia kembali terbatuk dengan suara yang lebih kencang. “Lumayan mendingan, Mas” jawabnya dengan nada pelan.

Pak Hasan langsung menyiapkan obat untuk istrinya. Setelah itu lanjut memasak makan siang untuk keluarga. Keahliannya dalam memasak sudah teruji sejak berada di pondok pesantren dulu. Sehingga, Pak Hasan tak kaget lagi saat harus berhadapan dengan alat-alat dapur beserta bumbu-bumbunya.

***

Malam sudah tiba. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah menyelesaikan semua urusan istrinya, dan Noura telah dipastikan tidur pulas di kamarnya, Pak Hasan langsung pergi menuju toko pulsa milik Pak Waid. Tujuan utamanya ialah untuk sekedar mencari angin dan menenangkan pikiran dengan berbincang-bincang dengan tetangga. Biasanya, jam segini sudah banyak orang di sana.

Pak Hasan mengendarai sepeda supra warna hitam yang sudah tiga tahun menemaninya. Banyak cerita menarik yang ia lewati bersama sang supra itu. Tak sampai sepuluh menit, Pak Hasan sudah sampai di lokasi. Dan ternyata benar, di depan toko sudah banyak orang yang terdiri dari Faris, Hamdi, Waki’, Kamil, dan Waid sendiri selaku pemilik toko.

“Wah, Pak Kyai kita baru datang nih,” ucap Pak Hamdi dengan nada bergurau.

Semua anggota forum tertawa singkat. Pak Hasan langsung bergabung dan mengeluarkan satu bungkus rokok surya.

“Gimana kabar istrimu, San?” Tanya Pak Waki’ yang usianya lebih tua.

“Masih tetap sama seperti yang awal Pak. Rencana besok mau kontrol kesehatan ke puskesmas Kecamatan. Dulu setelah periksa tahap awal, masih belum ada perkembangan sampai sekarang” jawab Pak Hasan dengan santai tapi lesu.

“Nggak pernah nyobak diperiksa ke kliniknya Adi, San?” Tanya Pak Waki”

“Belum pernah Pak” jawab Pak Hasan sambil mengeluarkan satu batang rokok dari bungkusnya.

“Udah berapa lama istrinya sampean sakit, Pak?” Tanya Pak Hamdi. “Sudah satu minggu lebih Pak” jawab Pak Hasan.

“Wah, sudah lumayan lama berarti ya” sambung Waid.

Pak Waki’ mengambil nafas sejenak. Melihat suasana sekitar lalu melanjutkan perkataannya.

“Coba kamu bawa istrimu ke sana. Menurut kerabat saya, banyak orang yang cocok dan cepat sembuh setelah periksa ke sana” saran Pak Waki”

“Memang, banyak orang yang cocok kalau periksa ke Adi. Beberapa hari yang lalu, kerabat saya ada yang sakit pusing dan batuk cukup lama. Setelah menerima resep obat dari Adi dan meminumnya sesuai arahan, dua hari kemudian alhamdulillah mendingan. Sekarang sudah sembuh total” tambah Hamdi.

Faris dan Kamil hanya menjadi pendengar setia. Setelah Kamil menghidupkan rokok di mulutnya, tiba-tiba ia juga angkat bicara.

“Oh iya, teman saya dulu juga ada yang sakit. Terus periksa ke Adi, alhamdulillah cocok dan bisa sembuh” jelas Kamil sebagai pemuda paling muda di antara yang lain.

“Temenmu sakit apa?” Tanya Faris yang sudah bosan diam saja. “Nah itu, saya kurang paham” jawab Kamil singkat.

“Siapa tahu istrimu juga bisa cocok kalau periksa ke sana, San” ucap Pak Waki”

Mendengar cerita dari tetangganya, Pak Hasan semakin mantap untuk membawa istrinya kontrol kesehatan ke Adi. Meskipun tempat prakteknya cukup jauh, tapi demi kesembuhan istrinya, semua itu harus tetap dilakukan.

Pembahasan berpindah pada hal lain. Faris kemudian bercerita tentang saudaranya yang membuka toko baru di Jakarta. Menurut cerita, saudara Faris kebingungan jika harus mengelola toko itu seorang diri. Apalagi sebelumnya ia tidak mempunyai pengalaman sama sekali tentang pertokoan. Modal yang ia dapatkan untuk membangun toko itu berasal dari harta warisan.

“Mau buka toko apa di sana?” Tanya Waid yang dari tadi sibuk dengan hp barunya.

Faris tak langsung menjawab. Ia masih menyempatkan diri untuk menghisap rokok di mulutnya.

“Toko baju Om. Kebetulan ia juga dapat informasi tentang tempat kulakan baju yang murah. Jadi ia langsung ngambil banyak barang” jelas Faris.

Sejenak percakapan terhenti. Suara deru motor dan sapaan dari warga yang lewat di depan toko juga ikut meramaikan suasana.

“Oh kalau gitu, mending ngajak Pak Hasan saja. Dia kan sudah punya pengalaman dalam pertokoan. Apalagi juga sama-sama toko baju” saran Pak Waki’.

Semuanya terdiam termasuk Pak Hasan. Awalnya ia tak berpikiran sama sekali untuk menawarkan diri. Tapi setelah mendengar cerita dan peluang yang disampaikan Faris, sepertinya itu boleh dicoba. Apalagi keadaan toko di desa yang sekarang juga sedang sepi. Keadaan ekonomi sedang mepet. Siapa tahu dengan merantau ke kota, akan banyak pengalaman dan ilmu baru yang bisa diterapkan. Pikiran Pak Hasan mulai bekerja dan langsung menyimpulkan beberapa hal.

“Oh iya, nanti juga akan ada bayarannya kok. Dan sepertinya lumayan besar sih,” jelas Faris.

“Lumayan tuh, San. Selain bisa dapat pengalaman, juga bisa dapat bayaran” ucap Pak Waki yang suaranya sudah terdengar agak serat.

Pak Hasan tak langsung menjawab. Tatapannya mulai berkeliling dan pikirannya masih tetap berputar.

“Tapi kan istrinya Pak Hasan sedang sakit. Mana mungkin bisa ditinggal jauh ke Jakarta” sanggah Waid dengan mimik wajah yang menggelikan.

Pak Hasan langsung tersadar. Bahwa masih ada orang yang sangat dicintainya dalam keadaan sakit. Rasanya tak mungkin Pak Hasan meninggalkannnya sendiri hanya demi bayaran dan pengalaman.

“Ya kan nggak harus berangkat sekarang juga. Bisa beberapa hari lagi, minggu depan, atau bulan depan. Kebetulan saudara saya juga tidak keburu” jawab Faris.

“Wah, sepertinya menarik” jawab Pak Hasan yang dari tadi hanya diam memikirkan banyak hal.

“Ya sudah Pak, nanti gimana-gimananya tak kabari lagi” ucap Faris setelah menghisap rokoknya.

Pak Hasan hanya mengangguk. Tapi pikirannya kembali bekerja. Ia langsung berkesimpulan bahwa perkumpulan kecil dan yang awalnya terasa tidak penting juga ada manfaatnya. Mungkin juga itulah yang menjadi sebab kenapa Rasulullah mengajarkan bahwa salah satu cara untuk melapangkan rezeki ialah dengan silaturrahmi. Tidak perlu terlalu resmi atau hanya selepas lebaran saja. Cukup dengan ngopi santai di depan toko, di pinggir jalan, dan di malam yang indah dengan bulan yang sedang purnama. Selama perkumpulan itu tidak mengandung hal-hal yang merugikan diri sendiri atau orang lain, mengapa tidak?

Selebihnya, mereka hanya berbincang santai sambil meneguk kopi hitam yang disajikan oleh tuan rumah. Sesekali canda tawa terdengar dari salah satu mereka. Perkumpulan itu telah membuat mereka melupakan semua beban hidup yang mengganggu pikiran dan kesehatan. Hingga akhirnya jam menunujukkan pukul satu dini hari. Satu persatu anggota forum pamit undur diri. Termasuk Pak Hasan yang matanya sudah mulai memerah dan merasakan kantuk yang lumayan parah.

sebuah karya cerpen berjudul ‘PERCAKAPAN SATU MALAM YANG PENTING’ oleh M Kholilur Rohman yang diperlombakan dalam lomba cerpen fajar pendidikan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU