Perihal Mentari dan Pandangannya

“Oh, ayolah. Kuberi kau sepuluh juta rupiah bila sanggup menyebutkan nama seorang manusia yang sempurna dan membuktikan kesempurnaannya itu secara empiris!” lempar Ares.

Sebagai optometris, Ares terbiasa berpikir investigatif—bila kata itu cukup menggantikan perilakunya yang gemar memaksakan kehendak. Kebiasaan itu tak bisa membendungnya agar tidak melakukannya pada semua orang, termasuk pada Fajar disaat yang sesantai makan siang ini.

Ares sudah menjadi bapak tiga anak, sementara sahabatnya itu, di umur yang sama dengannya, kepala tiga ngesot sedikit begitu katanya, masih membujang. Fajar menolak bila dikatakan murni membujang. Ia memiliki Mentari, dalihnya.

Tapi mereka belum menikah, balas Ares. Iya, tapi mereka saling mencintai, timpal Fajar. Jelas kedua sahabat ini memiliki nilai-nilai yang berbeda. Mereka seperti di satukan oleh perbedaan dan mengambil manfaat dari perbedaan: bisa merasakan tingginya jurang tanpa harus melompat dan bisa menyaksikan indahnya dasar Pasifik tanpa harus menyelam.

Seperti Mentari yang selalu menghayati takjubnya dunia tanpa harus melihat.

“Aku harap ia mampu melihatku…” gumam Fajar sambil mempermainkan butir butir nasi uduk yang baru ia santap setengah.

“Aku bisa mengoperasinya,” balas Ares tanpa menatap Fajar yang galau karena harus membalas pesan singkat di ponselnya.

“Kau bisa?” Fajar mengernyit kaget. “Jadi itu yang kau dapat dari Australia, hah?”

“Ya,” balas Ares. “Kau hanya tinggal mencari pendonor kornea.”

- Iklan -

Fajar terlihat berpikir lagi. “Tidak.”

“Tidak?”

“Aku masih belum bosan dengan Susan,” jawab Fajar dan tiba-tiba ia memperoleh nafsu santap siangnya kembali. “Susan dan Fani dan Barbara, antrian yang panjang.”

Kata-kata Fajar kali ini sanggup membuat Ares menoleh dari ponselnya. “Siapa Susan?”

***

“Bejat!” bisik istri Ares ketika suaminya menceritakan kejujuran Fajar siang tadi.

Ares membuat Fajar bersumpah bahwa hal ini bukanlah karangan. Atas nama persahabatan, Ares percaya pada keberanian Fajar menceritakannya. Jadi ia mantap menganggap ini sebagai kejujuran Fajar yang dianggap bejat oleh istrinya.

“Yah… Kukira moral telah meninggalkan tak hanya para Wakil Rakyat, tapi juga sahabatku,” Ares terlihat pasrah.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU