Perihal Mentari dan Pandangannya

Sang istri menggapai balsem aroma lavender untuk dioleskan di tengkuk suaminya. Dengan begitu Ares menjadi sedikit lebih rileks.

“Apa arti penyataannya, mencintai Mentari‟ bila ia memanfaatkan kebutaan gadis polos itu sementara ia mengencani tiga wanita lain? Apakah mereka juga buta?”

“Tidak, Sayang, mereka dibayar. Bila mereka buta harga mereka akan jatuh,” balas Ares sambil mengisap balsem lavender dalam-dalam.

“Iiih… Dia tidak takut dengan penyakit kelamin?”

“Dia bilang dia pakai kondom. Kondom yang dibagi-bagikan pada Hari Kasih Sayang dan Hari AIDS Sedunia,” jawab Ares berusaha menahan rasa jijiknya.

“Astaga, dia memakai kondom gratis? Aku kira dia kaya…”

“Sayang, bukan itu intinya,” potong Ares.

“Kau sahabatnya. Tunjukkan fungsimu sebagai sahabat!” tegas sang istri.

Ares mengernyit heran. “Aku seorang sahabat. Bukan alat.”

- Iklan -

“Keduanya memiliki fungsi kan?” sang istri mencolek balsem lavender dan mengoleskannya ke dada Ares yang telah berbaring di ranjang.

“Haruskah aku bilang pada Mentari?”

“Ide buruk.”

“Bila aku mengoperasi mata Mentari, ia bisa melihat kenyataannya, Sayang,” Ares berujar sambil menghirup balsem lavender lagi dalam-dalam.

“Bagaimana dengan biaya operasinya? Kau perlu donor kornea atau iris atau pupil atau apalah itu… ya, kan?”

Pertanyaan sang istri bagaikan tembok yang membuntu langkah pikirnya. Pilihannya ada dua: memanjat tembok atau berbalik dan mencari jalan lain. Seringnya Ares berpihak pada pilihan pertama.

“Mentari punya keluarga. Aku akan bicara pada mereka.”

***

“… kalau dia bersedia, dia sudah bisa melihat dari dulu,” ujar Ayah Mentari sebelum memukul bola golf. “Kami bukan orang miskin. Kau minta, „Lompatlah!‟, kami tantang, Seberapa tinggi?‟”

“Ini masalah operasi, bukan lompat tali, Om.”

“Operasi dan lompat tali—keduanya membutuhkan keberanian,” balas pria tua itu. Keduanya memutuskan untuk mengakhiri permainan sore itu dan berjalan keluar lapangan untuk berkemas-kemas. Selama melangkah, Ares memikirkan kata-kata pria tua parlente itu.

Ares menyimpulkan pembicaraan. “Jadi selama ini Mentari tidak ingin melihat?”

“Baginya meyakini sesuatu tanpa harus menyaksikan adalah lebih dari cukup. Semakin kita banyak bersaksi terhadap sesuatu semakin kita tertuntut oleh kekecewaan.”

“Tapi Mentari bisa menjadi manusia yang lebih berguna bila ia bisa melihat, Oom.”

Ayah Mentari hanya mendengus. “Lihat,” tunjuknya ke arah seorang pemuda tanggung sedang membaca majalah bersampul wanita telanjang, “dia punya mata dan apa yang dia lakukan dengan matanya?”

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU