Setiap tanggal 24 September, kita memperingati Hari Tani Nasional yang merupakan peringatan untuk mengenang sejarah para petani dan perjuangan untuk bebas dari penderitaan. Tahun ini, perayaan diwarnai oleh aksi unjuk rasa untuk menuntut kesejahteraan petani.
Pada Kamis, 23 September kemarin, puluhan mahasiswa dari Universitas Gunung Rinjani menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Lombok Timur. Mereka menyoroti kelangkaan dan mahalnya harga pupuk untuk petani.
Selain pupuk, mahasiswa juga mengkritisi banyaknya lahan produktif areal pertanian berubah menjadi bangunan megah. Hal ini berakibat pada penurunan hasil produksi pertanian yang terus terjadi.
Tak hanya itu, mereka menyoroti kekeringan yang setiap tahun melanda sejumlah wilayah di Lombok Timur. Selain itu, mereka menyebutkan, petani semakin sengsara karena saat ini harga berbagai komoditas pertanian yang dihasilkan sangat murah.
Aksi serupa terjadi di Indramayu, Jawa Barat yang dilakukan oleh puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Milenial Membela Rakyat atau Ammer Indramayu Jawa Barat.
Aksi tersebut sempat menyebabkan kericuhan antara mahasiswa dan petugas kepolisian. Hal ini terjadi lantaran para pejabat atau Bupati Indramayu tak kunjung menemui para mahasiswa.
Dalam aksinya, massa aksi menuntut bupati untuk tidak membangun pabrik di lahan produktif untuk bertani. Tidak hanya itu mereka juga mendesak pemerintah untuk membantu petani dalam mengatasi kelangkaan pupuk di pasaran.
Meski sempat ricuh, setelah menyampaikan aspirasi kepada Bupati Indramayu, massa dari Ammer Indramayu ini membubarkan diri dengan tertib dan aman untuk kembali ke kampus mereka masing-masing.
Kriminalisasi petani
Kesejahteraan petani memang belum benar-benar terwujud secara merata dan adil. Namun yang lebih menyedihkan, para petani ini juga kerap mendapatkan kriminasisasi.
Sejumlah jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di berbagai daerah mencatat kasus-kasus dugaan kriminalisasi petani, salah satunya LBH Semarang. Pihaknya mengungkap kriminalisasi warga petani di Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Dugaan kriminalisasi itu terjadi bermula dari rencana pembangunan pabrik semen d Rembang pada 2009 silam. Menurut Nico Wauran dari LBH Semarang, proses pembangunan pabrik tersebut perusahaan semen harus mencari lahan pengganti untuk dijadikan tanah hutan atau kawasan hutan.
Lalu, sejumlah lahan di Surokonto Wetan yang diolah warga sejak era 1970an pun dibeli dari sebuah perusahaan. Nico mengatakan dalam proses penjualan tersebut sama sekali tak melibatkan warga yang telah mengelola lahan terlantar itu sebelumnya.
Pada tahun 2016, tiga orang petani ditetapkan jadi tersangka oleh PN Kendal dengan putusan pidana penjara 8 tahun dan denda Rp10 miliar. Tiga orang petani yang dikriminalisasi yakni Nur Azis, Sutrisno, dan Mujiono.
LBH Semarang kemudian mendampingi warga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), tetapi belum berhasil membebaskan mereka. Akhirnya pada tahun 2019, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi kepada ketiganya.
Kasus serupa juga pernah terjadi di Riau. Noval Setiawan dari LBH Pekanbaru mengungkapkan, salah satu kasus kriminalisasi terjadi kepada Pak Bongku bin Jelodan, warga suku Sakai di Dusun Suluk Bongkal, Kabupaten Bengkalis.
Dia sempat dipenjara karena menanam ubi di lahan perusahaan. Menurut Noval, Bongku didakwa dengan 3 pasal Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Sejumlah pekerjaan rumah tersebut seakan menunggu untuk diselesaikan. Oleh karena itu, Serikat Petani Indonesia (SPI) mengangkat tema Hari Tani Nasional 2021 yaitu “Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria untuk Menegakkan Kedaulatan Pangan dan Memajukan Kesejahteraan Petani dan Rakyat Indonesia.”
Bersamaan dengan upaya untuk menguatkan negara dalam implementasi reforma agraria, SPI juga mendorong pembentukan kampung-kampung reforma agraria dan kawasan daulat pangan.
Harapannya, hal itu bisa menjadi kekuatan massa petani sebagai motor penggerak utama dalam me-redistribusi tanah dan membangun kehidupan secara kolektif.
Kampung-kampung reforma agraria juga merupakan wujud dari pelaksanaan reforma agraria sejati, karena selain menjawab persoalan ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia, kampung reforma agraria SPI juga menjadi pondasi penting bagi pelaksanaan kedaulatan pangan.
Perlu diketahui, penetapan Hari Tani Nasional ini dimulai pada masa pemerintahan Presiden pertama RI Ir Soekarno. Soekarno pertama kali menetapkan Hari Tani Nasional dengan menerbitkan Keppres No 169/1963.
Keppres tersebut ditetapkan untuk mengenang terbitnya UU No 5/1960 tentang pokok-pokok Agraria (UUPA) yang mengamanatkan pelaksanaan reforma agraria. Sehingga penetapan Hari Tani Nasional adalah sebuah pemuliaan tertinggi terhadap rakyat tani Indonesia.