Puluhan anak panah menancap di tubuhnya, dan terakhir, sebuah anak panah melesat dan menembus tenggorokannya. Oh betapa malang anakmu, anak tertuamu. Kau tak mampu lagi berdiri. Kakimu sedemikian gemetar, dan kau limbung. Kau terduduk, sambil terus menangis. Betapa kau tega kepada anak tertuamu.
Kau telah berupaya untuk mencegahnya bertarung melawan adik-adiknya. Kau tidak tidur semalaman ketika itu. Kau menyelinap ke bilik perkemahannya, dan kau mendapati Wrusali— perempuan yang seharusnya kau panggil menantu—menyambutmu dingin. Ia tahu belaka, tentang penghinaan anak-anakmu yang lain terhadap anak tertuamu.
***
Kau telah berada di dalam bilik rumahnya yang sederhana. Ia memilih tinggal di rumah yang sederhana, meskipun ia telah menjadi seorang raja. Bahkan anak tertuamu, tidak sudi menatap wajahmu.
Kau menceritakan rahasia yang selama ini kau pendam dengan kalimat yang terbata-bata. Kau berucap dengan hati-hati, agar anak tertuamu tidak tersinggung. Kau lihat, badannya begitu legam, mungkin saja karena sejak kecil sudah terbiasa terpanggang sinar matahari, bersama ayah angkatnya, yang sama-sama menjadi kusir kereta. Jika kau sudah menceritakannya sejak kau melihatnya di perhelatan akbar itu, tentu permusuhan semacam ini tak perlu terjadi.
“Kau adalah anak tertuaku Nak. Telah bertahun-tahun aku menunggu saat ini, menunggu saat mengatakan yang sebenarnya. Kau lihat baju zirah yang melekat dalam tubuhmu, itu anugerah dari Dewa Surya Nak. Kau akan menjadi raja, jika perang ini berakhir Nak. Jika kita menang. Bahkan kau juga berhak untuk menjadi suami Drupadi, karena kau adalah yang tertua.”
Ia diam. Bahkan kau melihat sorot penuh kebencian di dalam matanya.
“Jika kau benar ibuku, di mana ketika Arjuna menghinaku di depan rakyat Hastina. Aku tidak sudi bertarung melawan seorang suta, katanya. Apa Ibu masih ingat kalimat yang ia ucapkan ketika itu? Kenapa Ibu tidak membelaku di saat itu? Ke mana Ibu, saat anak-anak Ibu yang lain mencercaku, mengejekku, menghinaku di hadapan seluruh rakyat Hastinapura? Hampir saja aku menangis Ibu, pulang dengan kekalahan, tetapi Pangeran Duryudana, memberikan kehormatan padaku. Aku tidak akan bisa meninggalkannya, ia yang telah memberiku kedudukan, ia memberiku kemuliaan di saat orang lain menghina dan mencercaku. Aku tidak akan meninggalkan orang yang telah memberiku kemuliaan ini Ibu. Tidak akan.”
Kau menangis. Tergugu. Betapa ia kukuh dengan apa yang diyakininya. Kau berdiri, hendak memeluknya, tetapi Karna menolak.
“Badan seorang suta, tak layak dipeluk oleh seorang istri raja Ibu. Hanya akan mengotori pakaian ibu.”
Kau pandang wajahnya. Ia masih tak mau menatapmu.
Kau ingat ketika itu, saat kau mendapatkan sebuah mantra dari Resi Durwasa karena pengabdianmu selama kau belajar kepadanya. Kau menjauh dari semua orang. Di tepi Gangga, kau menghadap Dewa Surya, kau ucap mantra itu. Betapa ajaib. Tiba-tiba dalam pelukanmu, seorang bocah telah lahir. Kau tak percaya.
Kau menepok pipimu sendiri, mencubit lenganmu, berharap itu mimpi dan khayalan belaka. Tak mungkin. Namun yang yang ada di dalam dekapanmu benar-benar seorang bayi yang sangat manis. Ia merengek dan bergerak-gerak. Kau sentuh tubuhnya.
Begitu lembut. Baju zirah melekat di dalam tubuhnya. Betapa menyilaukan diterpa sinar matahari. Kau pandangi mata bocah itu, begitu bening. Namun kau adalah seorang putri, dan kau belum menikah. Kau tak ingin seorang pun tahu, kau telah melahirkan seorang putra.
Kau memandang sekeliling, tak ada siapa pun. Kau tak tahu apa yang harus kau lakukan. Kau kembali ke perkemahan Sang Resi. Kau lega ketika tak mendapati siapa pun di sana. Kau harus bergegas. Resi Durwasa tak boleh tahu, bahwa kau telah melahirkan seorang bayi, hanya karena mencoba mantra yang telah diberikannya. Bayi itu terus merengek, dan kau berusaha menenangkannya sedemikian rupa.
Kau mendapatkan sebuah peti kecil di dalam perkemahan itu. Kau segera menidurkannya bayi itu di dalam peti. Kau bergegas membawanya kembali ke tepi Gangga. Hatimu hancur. Betapa kau melakukan hal memalukan. Kau lebih memilih menjaga nama baikmu, dibandingkan dengan menyelamatkan bayi yang kau lahirkan dari mengucap mantra.
Kau menggenggam peti itu, sebelum melepasnya ke tepi Gangga. Kau pandangi lagi sekeliling. Tak ada orang. Maka kau segera meletakannya ke tengah Sungai Gangga, dan peti itu pun terbawa arus.
Kau ikuti alur arus Sungai Gangga, mengikuti laju peti yang berkelok-kelok mengikuti arus sungai. Berharap anak itu baik-baik saja. Namun arus terlalu deras untuk kau ikuti, kau tak bisa lagi menjejak keberadaan anakmu. Dan kau menangis tersedu-sedu di tepi Gangga. Hingga Resi Durwasa melihatmu menangis.
Ia mendekat dan menanyakan kenapa kau menangis. Betapa kau bingung menjawab, tergeragap. Kau berdusta, kau hanya bersedih karena kehilangan rusa yang begitu cantik, ia telah lenyap ke dalam hutan.
Betapa Sang Resi tertawa mendengar kesedihanmu karena hal yang tak sepantasnya ditangisi. Ia mengajakmu pulang, karena sebentar lagi matahari akan terbenam. Kau mengikuti langkah Sang Resi. Sesekali, kau menoleh ke arah Gangga. Berharap anakmu selamat.
***
Bertahun-tahun kau diliputi kesedihan. Hidupmu tak kurang suatu apa. Kau telah memiliki tiga anak yang cukup berbakti, juga ditambah dua anak lagi, dari istri kedua suamimu. Nakula, dan Sadewa. Namun, bayangan anak tertuamu selalu terbayang begitu rupa. Kau selalu ingat ketika kau meletakkannya di tepi Gangga.
Hingga perhelatan kelulusan para Pangeran Kuru, setelah selesai belajar di padepokan Resi Durna. Semua pangeran unjuk kebolehan. Bima dan Duryudana dengan gadanya, Mereka saling bertarung sama lain. Hingga tiba saat Arjuna memperlihatkan kebolehannya dalam memanah.
Saat Arjuna melepaskan anak panah, tiba-tiba datang anak panah yang tak dikenal melesat, dan membelah panah Arjuna, kemudian mengenai sasaran yang terletak di sekeliling perhelatan. Arjuna memanah lagi, dan pemanah tak dikenal itu selalu membelah panah Arjuna menjadi dua. Saat itulah kau melihatnya.
Lelaki berbadan gelap, seorang pemanah yang tak dikenal. Arjuna memanah tubuhnya, dan kau lihat senyum di wajah orang asing itu. Panah itu mendesing kemudian terpental saat mengenai tubuhnya. Kulitnya tak tertembus, karena tiba- tiba dari tubuhnya, keluar baju zirah yang begitu megah.
Seketika tubuhmu menjadi gemetar. Kau mengenalnya lebih dari siapa pun. Semua orang terbelalak. Saat itulah kau menjerit disertai dengan tangis yang tertahan. Bibirmu bergetar sedemikian hebat, dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
***
Betapa kau selalu bersedih sepanjang hari setelah peristiwa itu. Bagaimana kau bisa hidup satu atap dengan anak yang kau buang? Celakanya, ia dimusuhi adik-adiknya sendiri. Kau selalu menasihati anak-anakmu, supaya jangan mencemooh, apalagi menghina Karna. Namun kau tak pernah memberikan jawaban pasti mengenai itu. Kau selalu tergeragap ketika mereka bertanya tentang lelaki asing yang seolah-olah selalu kau bela.
Kemudian ketika Arjuna membawa pulang hadiah sayembara. Drupadi. Betapa kau menyesal telah mengatakan, hadiah itu dibagi menjadi lima, sebagaimana yang selalu mereka lakukan, apa pun yang mereka dapatkan selalu dibagi lima. Namun kau terbelalak, bukanlah harta, bukan kekayaan, yang mereka bawa.
Tetapi perempuan yang begitu cantik. Namun kalimat telah kau ucapkan, tak mungkin bisa ditarik kembali. Akhirnya Drupadi menjadi istri dari kelima anakmu. Kau hanya menunduk pada hari itu. Kau mengingat kembali tentang Karna, anak lelaki yang kau buang. Harusnya ia menjadi bagian dari kebahagiaan itu. Namun kau tak pernah memiliki keberanian, untuk mengatakan kepada kelima anakmu yang lain bahwa kau adalah ibu dari Karna.
***
Kurusetra menjadi lautan darah. Bau anyir menguar. Hatimu berharap-harap cemas ketika Duryudana mengangkat Karna, menjadi panglima perang. Kau harus menemuinya sebelum perang dimulai.
“Bejanjilah Nak, untuk tidak membunuh adik-adikmu.” katamu ketika itu. Karna bahkan masih tidak mau memandangmu. Napasnya mendengus.
“Baiklah Ibu. Anakmu ada lima, dan akan tetap menjadi lima setelah perang ini berakhir. Entah aku atau Arjuna yang mati.”
Betapa hatimu koyak. Seharusnya kau memiliki dua anak yang menjadi pemanah hebat. Seharusnya perang itu bisa dengan mudah dihentikan, tetapi kau datang terlambat. Perang telah berkecamuk. Kau menyesalkan, kenapa kau tidak mengatakannya sejak pertama kali kau melihatnya.
Seandainya saja, kau membelanya saat adik-adiknya menghinanya, mungkin saja, Karna akan berada di pihak anak-anakmu yang lain, dan mereka tak perlu saling bermusuhan satu sama lain.
***
Kau lihat perang itu. Arjuna dan Karna saling beradu panah. Kau melihatnya dengan hati yang gemetar. Sanjaya terus bercerita di samping Prabu Destarastra, tentang jalannya peperangan. Namun kau melihat sendiri.
Arjuna terdesak, dan keretanya terguling. Kau menunggu dengan cemas, betapa perang ini telah menimbulkan banyak korban dari menyalahi aturan perang yang telah disepakati. Arjuna tak berdaya, Kresna berdiri di depan Arjuna, melindunginya. Kau lihat Karna, menarik tali busurnya. Tanganmu menggenggam kuat. Arjuna pasrah menerima keadaan.
“Aku bukanlah pengecut Arjuna. Sebagaimana yang telah diucapkan Kakek Bisma, tidak boleh menyerang pasukan yang tidak bersenjata. Tidak boleh menyerang lawan yang tidak berdaya. Sekarang naiklah keretamu, kita bertarung lagi.”
Karna tak jadi menarik tali busurnya. Ia menurunkan panahnya. Ia menunggu Arjuna kembali masuk ke dalam keretanya. Kau melihat kemarahan di wajahnya.
Mereka kembali beradu ketangkasan. Panah mendesing di udara, berlesatan seperti hujan anak panah. Mereka saling mengelak satu sama lain. Hingga akhirnya mereka sampai pada medan yang berlumpur. Kau tahu belaka, Kresna sangat mahir berkereta dalam keadaaan apa pun. Sedari kecil, ketertarikannya pada kereta mengalahkan semua saudaranya. Namun tidak begitu dengan Prabu Salya, yang menjadi kusir kereta Karna. Ia begitu kesulitan mengendalikan kereta di medan itu.
Panah-panah Arjuna melesat. Kau lihat betapa Prabu Salya sangat kesulitan mengendalikan kereta. Hampir saja ia terbunuh. Atap tutup kereta telah terlepas karena dihujani anak panah tanpa henti.
Praabu Salya melompat turun, karena kuda sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Maka kuda yang berlari kesetanan, membuat kereta berjalan tak tentu arah kemudian terperosok dan terbenam di dalam lumpur.
Kau lihat anak tertuamu jatuh.
Kau lihat Kresna berbisik terus tanpa henti di telinga Arjuna.
“Sebagaimana aku yang bertindak kesatria, tunggulah aku mendirikan keretaku kembali Arjuna.” pinta Karna.
Kau lihat Arjuna begitu marah. Karna masih berusaha sekuat tenaga mendirikan keretanya sendiri. Di saat itu, Arjuna membentangkan busur, hendak melesatkan anak panah, saat itu kau menjerit, sambil berlari menuruni bukit.
Sanjaya, Destarastra dan semua yang menyaksikanmu menuruni bukit berteriak lantang, supaya kau menghentikan langkahmu. Namun mereka tak bisa mengejarmu karena langkahmu terlalu cepat. Kau tahu belaka Arjuna pemanah ulung, yang tak mungkin meleset jika telah membidik. Jika yang diincar tenggorokannya, seketika Karna akan mati. Tetapi jika yang diincar tubuhnya, kau sangat yakin, putra tertuamu akan diselamatkan baju zirahnya.
Entah siapa yang pertama menjadi pengecut di dalam perang itu. Anak panah telah dilesatkan dan menembus tubuh Karna. Kau menjerit. Tak mungkin. Panah itu benar-benar menembus tubuhnya. Ke manakah baju zirah anak tertuamu itu? Kau berteriak kesetananan, dan terus menuruni bukit.
Anak panah dilesatkan tanpa henti. Satu per satu menancap di tubuh Karna. Langkahmu semakin gegas, dan tak seorang pun yang bisa mengejarmu. Hingga pada panah terakhir menancap di tenggorokan Karna yang membuatnya benar-benar tak berdaya. Karna limbung, dan tubuhnya ambruk.
Kau menjerit lebih keras. Kau terjatuh, kemudian duduk. Langkahmu terhenti. Dan para petinggi Hastina yang tidak mengikuti peperangan mencoba untuk menenangkanmu. Kau tergugu. Terisak begitu deras melihat anak tertuamu mati di tangan adiknya sendiri.
Sebuah karya cerpen berjudul ‘Pertempuran Dua Saudara’ oleh Rumadi yang diperlombakan dalam lomba cerpen fajar pendidikan