Piala

“Dunia ini tidak adil bagiku, Bund,” tiba-tiba saja kata-kata itu meluncur dari mulut mungil bocah kelas II MI itu. Entah apa yang membuat anak itu melontarkan kata seperti itu. Padahal seingatku, aku selalu mengajarinya untuk selalu berprasangka baik terhadap apa pun. Namun entah kenapa kali ini ia sampai mengucapkan kalimat seperti itu.

“Kenapa, sayang?” kubelai rambutnya yang panjang sebahu sambil kupeluk. Bibirnya yang manyun mengisyaratkan ada kekecewaan yang masih tersimpan di hatinya.

“Gini lho, Bund. Dulu waktu aku dapat juara satu lomba mewarnai, panitia gak nyediain piala. Sekarang giliran aku gak dapat juara, panitia menyediakan piala. Apa ini adil namanya, Bund? Aku kan juga mau dapat piala.”

“Fatin pengin seperti Dik Fadel punya piala banyak terus dipajang di ruang tamu. Bagus, kan Bund? Nanti ayah sama bunda pasti senang dan bangga sama Fatin? Iya, kan, Bund?” mulutnya yang masih manyun terus menerocos seolah mengalirkan rasa kecewa dan marahnya pada keadaan.

Kurasakan tiba-tiba saja pipiku basah oleh air mata. Entah perasaan apa saja yang berkecamuk waktu itu. Tiba-tiba saja dadaku terasa begitu sesak. Aku bisa merasakan sejuta perasaan kecewa anak keduaku ini. Andai aku bisa menebus rasa kecewa itu, Nak, batinku. Namun sebenarnya bukan itu yang kami Inginkan.

Baca Juga:  Transformasi Pendidikan Indonesia Pasca-Kurikulum Merdeka

“Sayang, biarpun Fatin gak dapat piala tapi bagi ayah sama bunda Fatin tetap juara, kebanggaan Ayah dan Bunda kok,” kupaksakan bibirku untuk tetap tersenyum di hadapannya.

“Seorang juara bukan dilihat dari berapa banyak piala yang berhasil diraihnya, tetapi seorang juara yang sebenarnya adalah ia yang mampu mengalahkan kemalasan, keterbatasan, dan mengubah keadaan menjadi lebih baik, dan jauh lebih baik lagi. Itulah juara yang sesungguhnya, Nak!”

Sedikit ada perubahan di mimiknya, sudah tidak manyun lagi, tapi masih terpancar ketidakpuasan di wajahnya. Hatiku sedikit lega. Semoga penjelasanku tadi dapat menenangkan kegelisahannya.

Jujur kuakui, pasti setiap orang tua akan merasa bangga jika anak-anaknya menjadi juara dan mengumpulkan segudang piala yang dapat dipajang dan dipamerkan pada rekan- rekannya. Namun bagi kami, itu bukanlah tujuan utama. Yang terpenting justru bagaimana ia dapat menjadi anak-anak yang saleh dan salehah.

- Iklan -

Memang selama ini dia suka lihat piala-piala punya Fadel yang dipajang di rak kaca di ruang tamu. Fadel, anak sulung adik perempuanku itu memang jago sekali menggambar. Bakat dari ibunya mungkin.

Baca Juga:  Mendikdasmen Ajak Para Guru Wujudkan Pendidikan Bermutu

Maklum ibunya yang seorang guru TK itu memang pandai menggambar. Sederet pialanya turut menghiasi rak kaca di ruang tamu, berjajar dengan piala perolehan anaknya. Apapun yang digoreskannya diatas kanvas akan menjadi lukisan yang artistik, memukau setiap mata yang memandangnya. Bakat melukisnya semakin terasah dengan melekatnya sebuah profesi guru TK pada dirinya.

Lain halnya denganku. Sebagai seorang alumni Sastra, sense of humanioraku lebih dominan. Rasa yang mengajarkanku pandangan dan prinsip hidup yang agak berbeda dengannya. Bagiku, hidup bukanlah soal menjadi seperti apa kita, tapi lebih pada seberapa kita dapat memberi manfaat bagi orang lain dan lingkungan.

Kebahagiaan sejati bukan terletak pada seberapa megahnya rumah kita, seberapa banyak koleksi mobil mewah kita, seberapa banyak emas dan harta yang mampu kita timbun, dan seberapa dihormati serta dipuja-pujanya kita.

Tapi, kebahagiaan sejati akan senantiasa kita rasakan ketika kita mampu memberi dan berbagi sebanyak-banyaknya. Kebahagiaan sejati adalah ketika kita berasyik masyuk dengan Sang Pencipta, baik secara langsung ataupun melalui alam ciptaannya. Itulah sebabnya aku sering mengajarkan kepada anakku agar bisa menjadi kran yang selalu mengalir bagi sesama.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU