Piala

Sering pula aku ajarkan pada anakku bahwa segala yang ada di alam ini sebenarnya bisa kita ajak untuk berkomunikasi. Laut, gunung, sawah, pohon, dan burung-burung di angkasa. Bahkan bumi tempat kita berpijak pun pada dasarnya mampu kita ajak komunikasi.

Coba saja, kalau kita perlakukan mereka dengan sebaik-baiknya, pasti mereka akan memberikan berkah dan manfaat yang tiada terhingga pada kita. Memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi kita. Namun sebaliknya, ketika kita perlakukan alam dengan semena-mena, merusak sesuka hati, seolah-olah kitalah penguasa bumi ini maka petaka dan bencanalah yang akan kita peroleh.

Gempa bumi di mana-mana, tanah longsor, tsunami, banjir bandang memporakporandakan semuanya. Begitulah cara alam marah pada kita. Namun sering kali banyak orang tidak mampu mendengar dan memahami jerit alam yang teraniaya oleh tangan jahil manusia.

Manusia banyak yang tidak peka lagi terhadap rintihan hutan yang gundul, tangis sungai yang tercemari oleh sampah, anak-anak burung yang menggigil kedinginan kehilangan tempat berteduhnya.

Pada malam hari bulan purnama, kuajak dia duduk-duduk di teras rumah. Rembulan yang bersinar terang, tersenyum ramah kepada kami, dikelilingi bintang-bintang yang terus berkedip, seolah mengajak kami untuk bercanda ria menikmati keagungan Tuhan. Sungguh luar biasa anugerah Tuhan.

Sempurna, tiada manusia mampu ciptakan keindahan seperti ini. Semilir angin menari bersama daun-daun pohon kelengkeng di halaman rumahku, seakan tak mau ketinggalan ingin mengajakku bersenda gurau. Kami biasa menikmati keindahan malam bersama kerik jengkerik.

Sengaja aku masukkan anakku, Fatin ke sekolah pondok pesantren, dengan harapan bisa belajar ilmu agama lebih banyak dan mendalam. Maklumlah dulu aku tidak berkesempatan mondok di pesantren. Padahal ingin sekali aku belajar agama di pondok pesantren.

Berkali-kali kucoba merayu bapak untuk mondok, tapi tetap saja bapak tidak mengizinkan dengan alasan kasihanlah, jauhlah, dan entah segudang alasan apalagi yang sempat membuatku kecewa kala itu.

Baca Juga:  Kenali 7 Tanda Anak Siap Sekolah, Faktor Usia Bukan Menentukan

Akhirnya aku terima saja keputusan bapak. Aku tidak ingin dicap sebagai anak yang tidak berbakti kepada orang tua. Untuk mengalihkan rasa kecewaku aku suka membaca buku soal agama milik bapak. Kebetulan beliau seorang guru agama. Sampai aku kuliah rasa keingintahuanku makin membuncah.

- Iklan -

Apalagi di perguruan tinggi aku lebih leluasa untuk meminjam buku di perpustakaan. Sering pula sebagian jatah bulanan kostku kubelanjakan untuk membeli buku. Rasa penasaranku tentang ilmu agama sedikit terobati. Setelah menikah kebetulan aku berjodoh dengan teman kuliah yang orang pondokan.

Bersyukur aku bisa belajar banyak ilmu agama darinya. Sampai akhirnya Fatin berusia sekolah, dia mengusulkan untuk memasukkannya ke sekolah pondok. Tentu saja usulnya langsung aku terima tanpa pikir panjang, itung-itung sebagai ganti kesempatanku yang hilang dulu.

Sebenarnya jarak rumah kami dengan sekolah tersebut lumayan jauh, sekitar dua belas kilometer. Namun, bagiku itu bukan penghalang. Semua pasti ada solusinya, pikirku waktu itu. Dan benar saja, ternyata Allah mengabulkan doa-doaku selama ini. Aku dimutasi ke sekolah yang lebih dekat, hanya berjarak dua kilometer dari rumah atau sekitar lima menit perjalanan.

Dengan demikian aku lebih mudah untuk membagi waktuku. Pagi hari kuantar Fatin ke sekolahnya, baru aku berangkat ke kantor. Sore hari pukul 16.00, usai dari kantor, barulah aku menjemputnya. Memang agak capai juga sih, tapi tidak mengapa yang penting semua bisa berjalan.

Atau jika kami tega sebetulnya Fatin bisa tinggal di pondok pesantren tersebut. Banyak juga temannya yang mondok di sana sejak kelas satu MI. Pernah juga Fatin minta izin untuk tinggal di pondok, tapi untuk sementara ini belum aku izinkan. Belum tega rasanya. Rencanaku lulus MI nanti baru aku masukkan ke pondok.

Baca Juga:  8 Cara agar Anak Percaya Diri di Sekolah

Seperti biasa pagi hari selepas salat subuh aku menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan buat anak-anakku. Entah mengapa di luar kebiasaanku sebelum ke dapur aku sempatkan buka ponsel, siapa tahu ada kabar baik dari teman-teman. Astagfirullah haladzim………..ternyata ada kabar buruk dari pondok.

Pondok putra kebakaran, bangunannya ludes dilahap si jago merah. Yang lebih memprihatinkan lagi, Ya Tuhan…..ada seorang santrinya yang terpaksa harus menghembuskan napas terakhirnya setelah dibawa ke rumah sakit dan mendapat pertolongan di sana.

Kita boleh berencana, tapi Tuhan berkehendak lain. Inilah takdir Tuhan. Tidak ada yang bisa memprediksi, meramal, apalagi menolaknya. Yang jelas semua yang terjadi adalah kehendak-Nya dan merupakan jalan terbaik bagi hamba-Nya.

Air mataku meleleh di pipi. Ya Allah, ringankanlah ujianmu untuk saudara-saudaraku, maafkan kami jika selama ini kami banyak berbuat dosa dan kerusakan di muka bumi ini. Ampuni kami, ya Rabb.

Kami yang terlalu bodoh dan sombong ini mungkin sering menomorduakan Engkau. Kami yang lupa memuliakan-Mu sehingga membuatmu murka. Astagfirullah haladzim………

“Ada apa, Bunda?” Tanya Fatin kala itu.

“Kita berdoa, Nak. Saudara-saudara kita kena musibah, pondok putra terbakar.” “Astagfirullah…..”

Dia langsung memelukku, tangisnya pecah. Ada perasaan sedih, kasihan, dan duka yang mendalam di hati kami berdua waktu itu. Kudekap dia, kami menyatu dalam perasaan berkabung. Berbagai bayangan berkelebat di pikiran kami, tentang para santri , tentang gedung yang hangus, tentang para ustadz dan ustadzahnya, dan bahkan orang tua santri yang mondok di sana.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU