Aku hanya bisa berdoa, semoga Allah senantiasa melindungi kalian semua, menjaga, dan menjauhkan dari segala bencana dan mara bahaya. Aku yakin pasti ada hikmah di balik semua ini. Selalu yang terbaiklah yang diberikan Allah pada hamba-Nya. Kita hanya bisa berserah diri, tawakal, dan lebih mendekatkan diri pada-Nya.
Sejak kejadian itu Fatin jadi lebih semangat bersekolah. Ia ingin menghibur teman-temannya di pondok, katanya. “Mereka butuh teman yang bisa menghibur dan membuat hatinya tenang, Bund!” katanya waktu itu.
Dikumpulkannya boneka mainannya, dipilihnya baju-baju yang layak pakai miliknya untuk dibawakan buat teman-temannya di pondok. Ia juga tambah rajin menabung, untuk disumbangkan ke pondok, katanya. Alhamdulillah ajaranku selama ini kepadanya untuk selalu berbagi dan saling mengasihi, menyayangi ternyata telah melekat di hatinya.
Banyak teman sekelasnya yang mulai goyah niatnya untuk mondok di sana, takut bila kejadian seperti beberapa hari yang lalu terulang kembali dan menimpanya melindungi kita. Mereka takut, bahkan beberapa santri ada yang dijemput orang tuanya pulang untuk sementara waktu dan harus „nglaju‟ untuk bersekolah.
Namun tidak untuk anakku Fatin. Ketika kutanya adik takut gak untuk tinggal di pondok, jawabnya sungguh di luar dugaanku. “Buat apa takut, Bund? Bukannya Allah selalu bersama kita, selalu menjaga dan meindungi kita? Bila sampai terjadi sesuatu pada kita, berarti itu sudah takdir. Bukankah Bunda sering mengingatkan Fatin bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik buat hamba-Nya?”
Masyaallah….sungguh hebat keimananmu, Nak. Aku yakin selain dari apa yang aku ajarkan tiap hari, keyakinan itu muncul berkat kerja keras, kegigihan, dan ketelatenan guru, ustadz, ustadzahnya yang mendampinginya tiap hari.
Lingkungan pergaulannya di pondok juga semakin menguatkan keimanannya. Terima kasih, ya Allah, telah Engkau mudahkan kami dalam mendidik dan membimbingnya. Tanpa kemurahan-Mu semua pasti tidak akan terjadi.
Dua hari sudah aku terbaring di tempat tidur. Terpaksa izin tidak masuk kantor karena badanku terasa lemas, pusing, dan capai sekali. Kaki dan tanganku terasa pegal-pegal. Lemah lunglai rasanya, Seperti orang tidak makan seminggu lamanya. Untuk berjalan saja rasanya aku tak kuat, bagai layang-layang putus tertiup angin.
Orang Jawa bilang „ngleyang‟. Memang untuk keadaan normal saja tensiku cenderung rendah, antara 90/60. Hasil pemeriksaan kemarin lebih rendah lagi, 70/50. Ketika kupaksakan untuk bangun dan beraktivitas, lututku terasa lunglai, seperti orang lumpuh, hampir tidak mampu menopang tubuhku yang sebenarnya belum seberapa berbobot. Baru 55 kilo, masih ideal bila dibanding tinggiku yang mencapai 160 an.
Tiba-tiba saja mataku berkunang-kunang. Tak mau terjadi sesuatu yang tak kuinginkan, aku kembali berbaring ke tempat tidur. Beruntung ada pembantuku si Ijah yang menemaniku di rumah.
Sore hari sepulang sekolah, setelah dijemput oleh tantenya Fatin langsung menuju kamarku. Dipeluknya aku, dicium, lalu dibelai-belainya rambutku yang masih tertutup hijab. Persis seperti aku memperlakukannya ketika dia sedang sakit. Tak lupa dipijitnya tanganku sambil cerita soal kegiatannya seharian di sekolah dan di pondok tadi.
“Bund, tahu gak, tadi di sekolah aku kepikiran sama Bunda terus, lho,” katanya. “Emang kenapa, sayang?”
“Kan Bunda sedang sakit. Nanti kalau Bunda kenapa-napa gimana, coba?” “Kenapa-napa, gimana, to Dik?” kataku.
“Ya, pokoknya sakit lebih parah gitu, lho Bund. Aku tuh sedih banget kalau Bunda sedang sakit gini. Pasti Bunda kecapaian, ya ngurusin aku tiap hari? Nyiapin sarapan, antar jemput aku, ngurusin kak Akbar, ngurusin rumah, beresin mainanku, dan masih banyak lagi. Pokoknya buanyak banget deh, Bund. Maafkan Fatin, ya Bund, selama ini sering nakal dan merepotkan, Bunda.”
Sekali lagi dipeluk dan diciumnya aku. Kali ini pipinya basah oleh air mata. Aku terharu dibuatnya.
“O, ya, Bunda sudah minum obat, belum? Biar kuambilkan, ya! Bunda sudah makan?”
Pertanyaannya yang seperti truk gandeng tidak memberiku kesempatan untuk menjawabnya.
Belum sempat aku iyakan semua pertanyaanya, dia sudah berlari ke dapur mengambilkan aku makan dan minum.
“Biar kusuapi saja, ya Bund. Kan dulu waktu Fatin kecil Bunda juga nyuapin Fatin.” “Bunda masih bisa makan sendiri, sayang,” jawabku sambil tersenyum geli menyaksikan
tingkahnya.
“Baik. Tapi habis ini minum obat, ya Bund, biar cepat sembuh,” katanya, lagaknya seperti orang dewasa. Memang bila dibanding anak-anak lain seusianya, putriku ini lebih dewasa pemikirannya.
“Kalau besar nanti Fatin kepingin jadi dokter biar bisa merawat Ayah sama Bunda kalau sedang sakit, merawat kakak juga. O, ya Fatin juga pingin punya rumah sakit sendiri, lho Bund. Nanti aku akan berikan pelayanan gratis bagi orang-orang miskin. Setuju gak, Bund?”
“Iya, Bunda setuju. Mudah-mudahan saja Allah mengabulkan keinginanmu, sayang!”
Ada perasaan haru bercampur bangga melihat kelakuan dan keinginan putriku ini. Semoga cita-citamu tercapai, Nak. Bunda cukup bahagia memiliki anak sepertimu yang selalu perhatian terhadap sesama, memiliki hati yang penyayang dan selalu mengasihi, dan punya cita dan cinta yang mulia.
Bukan koleksi piala dan segudang prestasi yang Bunda harapkan darimu, tapi jiwa mulia dan manfaat bagi sesamanya itulah yang Bunda harapkan kelak darimu. Jadilah engakau putriku yang cantik, cantik hati dan budi pekertimu, serta kaya hati untuk duniamu. Jadilah engkau matahari yang selalu bersinar….
Cerpen : Yulie Purwaningsih