Pernahkah hatimu seperti terbakar? Aku sering. Setiap kali mendengar dan membaca nama Han Kaliandra. Seorang penulis muda yang followernya di Instagram hampir mencapai 25 ribu orang, yang setiap kali mengunggah foto atau kutipan selalu mendulang banyak like dan komentar. Yang setiap minggu namanya sering tercetak di halaman surat kabar.
Sialnya, aku menjadi bagian dari followernya. Tentu saja, aku tidak memakai akun asli. Aku memakai akun bayangan. Dengan begitu lebih bebas memantaunya. Tetapi, entah apa yang ada di pikiran cowok itu, dia mengikuti semua akun media sosialku. Dari Facebook, Instagram, Twitter, bahkan Pinterest. Dia juga mengikuti akunku di sebuah platform menulis. Dan rajin memberi tanggapan.
Seharusnya aku senang. Seharusnya. Nyatanya, aku tidak suka.
Tentu saja ayah tidak pernah mengajariku untuk membenci. Ia membesarkan aku dengan kasih sayang. Tetapi mungkin ayah tidak sadar, bahwa puja-pujanya yang berlebihan untuk Han seperti menumpuk-numpuk bara di hatiku. Panas, dan pedih.
Kukira, Tuhan cukup mengujiku dengan kehilangan ibu pasca pemilu beberapa tahun lalu. Namun, aku harus menghadapi kenyataan bahwa diriku bukan satu-satunya yang memenuhi hati ayah.
Suatu malam ayah bercerita kalau aku mempunyai seorang kakak yang tampan. Ayah menunjukkan fotonya. Aku shock! Astaga, kami sudah berteman di Facebook, hampir tiga tahun.
Malam itu air mataku seolah diperas. Dadaku sesag. Kepalaku berat. Berhari-hari aku tidak bicara dengan ayah. Aku tahu, ayah sedih dengan sikapku. Tetapi aku juga terluka dengan semua kenyataan itu.
Berbagai kenangan perihal ibu tumpah ruah. Aku masih ingat bagaimana sibuknya ibu saat masa kampanye. Bagaimana ayah dan ibu masih terus bicara dengan tamu-tamu hingga larut malam. Bagaimana kudengar ibu yang kadang meninggikan suara di hadapan ayah.
Itu masa paling sibuk dalam keluargaku. Ibu yang sibuk kampanye dan aku yang dituntut belajar karena menghadapi ujian nasional.
Ibu yang kemudian bertengkar dengan ayah karena nilaiku tidak sesuai harapan. Perolehan suara ibu pun jauh dari prediksi. Ibu yang kelelahan dan berhari-hari harus dirawat di rumah sakit hingga akhirnya ia pergi mendahului kami. Rentetan peristiwa itu adalah pukulan demi pukulan dalam hidupku.
Jadi, ketika aku harus menerima kenyataan ada seseorang lain di hati ayah, aku benar- benar sulit menerima.
“Apakah ibu tahu semuanya?” tanyaku di hari lain setelah aku dan ayah kembali saling bicara.
“Ya,” suara ayah serak dan dalam.
Itu bukan jawaban yang aku harapkan. Tetapi kenyataan yang harus aku telan. “Maafkah, ayah, Nak.”
Aku menyebut peristiwa itu sebagai patah hati pertamaku.