Point of View

***

Han memiliki hampir semua yang dimiliki ayah. Wajah rupawan, suara merdu, –ah ya, dia membuat cover-cover lagu dan membaca puisi di Youtube– dan satu lagi, dia mewarisi kemampuan menulis ayah. Kuliah di jurusan sastra dan barangkali kelak juga akan menjadi dosen sastra seperti ayah. Lihatlah, semua seolah menitis kepada Han.

Beberapa tema cerita yang diambil Han seringkali juga pernah terpikir olehku, bahkan pernah kutulis dan kukirim ke media, namun yang muncul di sana adalah tulisan Han. Memang harus kuakui, Han selalu menceritakan yang tidak pernah aku pikirkan.

“Ini yang dimaksud Jacob Sumardjo, bahwa point of you itu sangat penting. Sebab menyangkut bagaimana kisah tersebut diceritakan, kejadian apa yang akan disajikan, kemana pembaca akan dibawa, dan kesadaran siapa yang akan dipaparkan. Dan Han selalu berhasil memilih tokoh mana yang bercerita, sehingga cerpen-cerpennya mencapai efek yang tepat,” kata Ayah suatu hari, ketika buku kumpulan cerpen Han masuk nominasi anugerah pembaca untuk penulis muda.

Seperti ada bara dijejalkan ke dalam dadaku. Panasnya menjalar ke lengan, punggung, leher hingga kepala. Aku berlari ke kamar mandi, mengguyur kepala dengan air kran. Aku berjanji, bahwa suatu hari, namakulah yang akan disanjung-sanjung ayah di depan Han.

Aku tidak main-main dengan janjiku itu. Aku mencari berbagai peluang dan menyusun segala cara. Tentu saja tidak mudah. Berkali-kali aku gagal dan hampir menyerah.

Hingga secercah harapan datang. Namaku masuk 50 besar lomba menulis tingkat nasional untuk kategori pelajar dan mahasiswa. Aku masih menyembunyikan dari ayah karena masih akan diseleksi lagi menjadi 20 besar.

Hari-hariku resah, harap-harap cemas menunggu pengumuman lanjutan. Apalagi ada Han di sana. Rasanya lebih baik aku tersingkir di awal daripada aku gagal sementara nama Han lolos ke final. Namun, sepertinya semesta mendukungku. Berkali-kali notifikasi ponselku berbunyi. Beberapa orang menyebut namaku, memberi ucapan selamat.

Aku gemetaran, telapak tanganku basah membaca nama Kolibrie Timur, berjajar dengan Han Kaliandra diurutan ke delapan dan sembilan sebagai nama-nama yang akan dibukukan dan diundang ke malam final. Aku memeluk ponselku. Lama. Tetap berharap menjadi salah satu dari tiga pemenang utama agar bisa memberi kejutan kepada ayah.

- Iklan -

“Kolibri…,” Ayah berdiri diambang pintu kamarku sambil merentangkan tangan. “Sini, Nak.”

Aku menghambur ke pelukan ayah. Rasanya hangat dan damai.

“Ayah tahu kamu sudah bekerja keras selama ini,” ucapnya setelah kami melepaskan pelukan.

“Kolibri.” Raut ayah berubah.

“Kamu tidak perlu berkompetisi dengan kakakmu untuk memenangkan hati ayah. Karena selama ini kamu telah menjadi pemenang.” Lelaki itu menekan-nekan dahinya.

“Jadi…, ayah minta kamu menarik naskahmu.”

“Hah?”

“Ayah hanya ingin menyelamatkanmu dari lubang yang kamu gali, Nak.” “Maksudnya?” Tenggorokanku terasa sakit.

“Ayah tahu cerpen siapa yang ayah baca.” “J-jadi.  ”

“Meski itu naskah lama yang belum pernah dipublikasikan, tetapi mengambilnya diam- diam dan mengakui sebagai milikmu, tetap saja itu namanya mencuri, Nak.”

Air mataku tumpah. Cerpen itu memang kuambil dari draft ayah. Aku berani menyalin karena tahu naskah itu belum pernah ditayangkan di media mana pun. Aku tidak menyangka sama sekali ayah menjadi salah satu juri.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU