Point of View

Tetapi, bukankah hanya kami berdua yang tahu? Jadi, tidak bisakah ayah sekali saja membiarkan aku bahagia? Tidak bisakah ayah merelakan satu saja naskahnya untuk putrinya? Sekarang aku harus membuat alasan bagaimana untuk menariknya? Apa kata panitia? Apa kata teman-teman di media sosial ketika namaku tiba-tiba menghilang? Kenapa ayah tega membunuh karirku yang baru saja berkecambah?

“Mungkin ayah terlihat kejam. Tapi kalau kamu menuliskan kisah kita ini dalam cerita, dan mengambil sudut pandang ayah, kamu akan paham dengan yang ayah lakukan.”

“Berkaryalah dengan bersih, Nak. Itu pondasi paling kuat.”

Rasanya seperti disiram lilin panas. Aku duduk kaku, tidak menemukan kata-kata untuk menjawab kalimat ayah. Aku juga tidak membalas saat ayah memelukku sekali lagi sebelum meninggalkan kamar. Rasanya hanya ingin menghilang, tenggelam ke balik bantal-bantal. Tidur, dan mendapati yang kualami ini hanya mimpi.

Aku memang tertidur, lalu terjaga dengan pipi basah. Tertidur lagi, dan terjaga lagi dengan kepala pening. Mungkin air mata keluar sepanjang tidurku. Aku bangun pagi dengan mata bengkak dan badan pegal-pegal. Lelah sekali, seolah baru saja melakukan pertempuran sengit melawan diriku sendiri.

Ayah membawa dua mangkuk bubur ayam ke kamar. Katanya, bubur hangat bisa membuat perasaan menjadi lebih enak. Aku tidak menjawab. Kami makan dalam diam. Setelah selesai, ayah keluar dengan dua mangkuk kosong dan aku kembali bergelung di balik selimut.

Siangnya, ayah kembali ke kamarku dengan setangkup roti dan es krim rasa kelapa. Seperti saat sarapan, kami masih saling diam. Aku kembali meringkuk di tempat tidur. Sulit sekali mencerna apa yang terjadi.

Ini tidak semudah mengganti point of view dalam cerita. Apa yang aku lakukan jika di posisi ayah? Bagaimana rasanya berada di posisi Han? Apa yang akan Han lakukan jika berada di posisiku?

Ketika akhirnya aku memberanikan diri menyalakan ponsel, banyak notifikasi yang kuterima. Aku membaca salah satunya:

- Iklan -

Dear Kolibri… sampai ketemu di malam final ya :*

Pesan itu, dari Han. Tepat setelah aku mengirim surat penarikan naskah ke panitia.


Sebuah karya cerpen berjudul ‘Point of View’ oleh Shabrina


BACA CERPEN LAINNYA DISINI

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU