Presiden Joe Biden Kesulitan Menghubungi Pemimpin Arab Untuk Mendukung Ukraina

Pihak Gedung Putih dikabarkan kesulitan mengatur panggilan telepon antara Presiden AS Joe Biden dan para pemimpin de facto Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Dilansir dari www.repelita.cm, Saat ini AS tengah berupaya membangun dukungan untuk Ukraina, menahan terjadinya lonjakan harga minyak.

Tidak hanya itu. Negeri Paman Sam juga menawarkan bantuan kepada negara – negara Teluk Parsia, dalam menghadapi serangan dari pejuang yang mendukung Iran di Yaman. Demikian menurut pejabat Timur Tengah dan AS.

Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman dan Sheikh Mohammad bin Zayed al Nahyan dari UEA, dilaporkan menolak untuk berbicara dengan Presiden Joe Biden dalam beberapa pekan terakhir ini.

Hal ini menurut pejabat AS, terkait dengan aksi vocal para pejabat Saudi dan Emirat dalam menyuarakan kritik mereka, khususnya terhadap kebijakan Amerika di Teluk Parsia. ‘’Ada beberapa hal yang ingin disampaikan lewat telepon, namun hal itu tidak terwujud’’, kata pejabat AS seperti dikutif FIN, 9/3/2022 dari New York Post.

Sebelumnya, Presiden Biden melarang impor minyak asal Rusia, dan membicarakan soal potensi kenaikan harga BBM di angka tertinggi. Dan meski sudah menggunakan cadangan minyak yang dimiliki AS, Biden mengaku jika dirinya tidak mampu mencegah terjadinya kenaikan harga BBM.

Joe Biden sendiri tengah berusaha mendekati beberapa otokrasi penghasil minyak, seperti Iran, Arab Saudi dan Venezuela, untuk mengimbangi dampak yang disebabkan invasi Rusia atas Ukraina terhadap pasar minyak dunia.

Semenatara itu, para diplomat AS tengah bekerja untuk mencegah kesepakatan nuklir baru dengan Iran, dengan imbalan pemberian keringanan sanksi. Tidak hanya Iran. Beberapa pejabat AS juga dikirim ke Venezuela, untuk meredakan tensi antara AS dengan Nicolas Maduro, yang pemerintahannya tidak diakui keabsahannya oleh AS.

Sebelum invasi Rusia atas Ukraina, AS sempat menjamu para pemimpin produsen gas alam dalam sebuah pertemuan. Beberapa diantaranya, adalah Perdana Menteri Norwegia Jonar Gahr Store.

- Iklan -

Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani, juga disebut dalam daftar jamuan itu. Dukungan dari para produsen gas alam ini, dianggap perlu guna mengimbangi potensi terjadinya kekurangan pasokan gas alam di Eropa.

Mengapa Uni Emirat Arab Tidak Mengutuk Rusia ?

Ketika beberapa hari yang lalu Presiden AS Joe Biden menghubungi Raja Salman, ternyata telepon tersebut tidak diangkat. Pengamat militer dunia mengatakan, ini hal serius. Kita tau Amerika sebagai polisi dunia merasa harus, mengatasi inflasi yang membahayakan seluruh penduduk bumi akan naiknya harga – harga kebutuhan pokok.

Kita semua faham, kalau demand (permintaan) kebutuhan meningkat, sedangkan persediaan terbatas, maka harga pasti naik. Rusia yang saat ini merupakan pengekspor 5 juta barel perhari minyak, ditambah Ukraina yang juga penghasil minyak, dimana sanksi ekonomi diberlakukan ke produk Rusia, sementara Ukraina negaranya tidak berfungsi secara ekonomi, maka saat ini harga minyak bumi sudah mencapai ke 125 dollar perbarel.

Baca Juga:  Pemain Terbaik AFF Futsal 2024, Wendy Brian Ick: Berkat Jasa Ibu

Untung ini, Emirat Arab bisa menerima usulan Amerika, akan segera meningkatkan produksinya, sehingga sisi supply tersedia dan rumor itu, hanya naik ke harga 106 dollar perbarel.

Namun, Arab Saudi sebagai penghasil 40 %, kebutuhan dunia tidak mau meningkatkan kapasitas, karena sangat menikmati naiknya harga saat ini. Arab Saudi adalah sekutu Amerika.

Namun untuk satu hal ini, meningkatkan produksi minyak, Biden telepon, tidak diangkat, adalah bentuk ‘’perlawanan Saudi’’, bentuk ketidaktaatan MBS pada Biden. Harga minyak di atas 105 dollar perbarel, membahayakan. Ekonomi Amerika, titik rapuhnya adalah, ketika harga minyak bumi di atas 125 dollar perbarel.

Kita bahas mengenai geopolitik dunia, sebelum membahas rinci masalah efek kenaikan harga menyak bumi ini. Tidak tunduknya Arab Saudi, menambah deretan negara – negara dunia melawan hegemoni Amerika.

Tiongkok melakukan banyak haL sejak tahun 90an. Mulai dari negara peniru imitating country. Kemudian menjadi negara pencetak uang. Kemudian negara penerima shadow banking uang haram.

Puncaknya, di tahun 2013 dengan strategi OBOR, Tiongkok menantang Amerika dengan pendekatan ekonomi, khususnya perdagangan. Kemudian, dilawan sejak tahun 2017 oleh Donald Trump, terjadilah perang dagang. Trade war tersebut, kemudian di tahun 2022, Langsung NATO dan Amerika.

Rusia berani !!!

Kemudian MBS Saudi melawan Amerika dalam strategi harga minyak bumi, menunjukkan semakin banyak negara yang berani melawan Amerika. Semua ini terinspirasi dari dua peristiwa. Yaitu strategi Tiongkok dan kalahnya Tentara Amerika di Afganistan, Agustus 2021.

Semua ini, menunjukkan arah yang jelas bahwa dunia mulai berani melawan hegemoni Amerik New World Order secara bersamaan. Sungguh saat ini, dunia sedang ingin merdeka dari penjajahan ekonomi dan penjajahan politik.

Kita lanjutkan fakta lain. Saat ini Jepang mengklaim balik Pulau Kuril yang menjadi wilayah sengketa dengan Rusia. Dua hari yang lalu, Jepang mengklaim hal tersebut. Kuril Island menjadi bagian dari Jepang .

Kembali dan terlihat Jepang mengambil tindakan militer setelah Amerika menyetujui dan mengirimkan sebagian kekuatan naval dari Armada ke-7. Kuril Island, sangat dekat dengan Okinawa. Markasnya Armada ke-7, The 7 Th Fleet.

Itu menandakan, ketegangan makin meningkkat. Kita harus waspada. Indonesia harus waspada. Pemimpin tertinggi di banyak negara, hampir semuanya sudah memberikan nation speech, atau pidato kenegaraan resmi kepada rakyatnya, apa yang negara akan lakukan kalau scenario terburuk terjadi.

Baca Juga:  Pemain Terbaik AFF Futsal 2024, Wendy Brian Ick: Berkat Jasa Ibu

Menurut sumber tersebut, Boss tertinggi Indonesia semuanya tidak pernah formal ngomongnya. Terkadang terkesan no directional. Sehingga Menteri utama yang mengarahkan perintahnya. Bukan seperti Zelensky yang memimpin langsung dengan gagahnya, tanpa pakai Menteri – Menterinya.

Apalagi seperti Putin yang dengan gagahnya, memimpin terdepan dan memberikan arah dengan jelas sebagai Commader In Chief sebuah negara berdaulat. Mengarahkan 24 jam ke rakyatnya. Newmind, urusan bernegara yang directed. Leadershipnya jalan.

Kembali ke topik. Perlawanan terhadap Amerika, ternyata bertambah. Siapa yang melawan ? Negara Eropa Barat hingga hari ke-15, tidak juga melakukan sanksi ekonomi secara utuh untuk Rusia. Eropa Barat masih membeli minyak bumi dan gas dari Rusia.

Perdebatan antar Kepala Negara Eropa dengan Amerika di meja NATO dan Bilateral, tidak kompak. Pastinya mereka tidak berani memberikan saksi utuh ke Rusia. Karena, inilah yang menjadi unik dari perang di Ukraina ini. Karena demikian rumitnya hubungan koneksi perdagangan.

Rusia penghasil gandum, 50 % dunia, penghasil 12 % minyak bumi dan produsen no.3 terbesar atas oil dan gas dunia, dimana Eropa Barat 60 % bergantung kepada Rusia dalam hal energi. Ketidaktaatan Eropa Barat, membuat Amerika pusing. Tidak menurut, Amerika di ujung tanduk masalah perekonomiannya.

Jadi apa kesimpulannya ? Dunia saat ini, dipastikan sedang mencari keseimbangan baru. Semua bergerak masing-masing menyelamatkan bangsa dan negaranya. Semua tegang, dan berstrategi. Dan Indonesia ? Jangan sampai bergerak mengambil balik Sipadan Ligitan dari Malaysia.

Untuk jadi bemper menangkis ancaman dari Utara. Mengambil balik Timor Timur, sebagai bemper ancaman dari Selatan, mencari minyak murah ke Venezuela, misalnya. Tetaplah peduli, tetaplah ngurusin proyek – proyek dan perpanjangan jembatan.

Rakyat Amerika Menentang

Terlepas dari tidak diresponsnya telepon Presiden Amerika Serikat oleh para pemimpin Arab, dalam menggalang dukungan untuk Ukraina, didalam negerinya sendiri, tidak mendapat respons.

Rakyat Amerika menentang pengiriman pasukan Amerika ke negara Ukraina untuk berperang di tengah ancaman invasa Rusia. Apalagi bila perang benar-benar terjadi, Rusia yang siaga Perang Dunia III, Sembilan negara sudah menyatakan siap membantunya, jika dikeroyok Amerika dan NATO di Ukraina.

Sebanyak 42 % warga Amerika meminta kepada pemerintahnya, hanya mengirimkan bantuan keuangan ke Ukraina. Sebanyak 55 % orang Amerika menentang pengiriman pasukan Amerika Serikat ke Ukraina. (*)

Laporan : Nurhayana Kamar

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU