Oleh: Ustadz Farid Okbah
Anak adalah amanah yang dititipkan Allah kepada kedua orang tuanya. Tanggung jawab ini berat dan harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya, sekaligus itu ujian, tapi juga merupakan perhiasan,
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar. (QS. Al-Anfal, 8: 28)
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. Al-Kahfi, 18: 46)
Sekaligus bisa menjadi beban dan musuh kalau salah mendidiknya, tapi kalau benar mendidiknya maka akan jadi penyejuk mata,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At-Taghabun, 64: 14)
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan, 25: 74)
Betapa kehadiran anak itu menjadi keindahan dalam rumah tangga bila kita melihat pasangan yang belum dikaruniai anak atau mengalami kemandulan.
Alqur’an menyebutkan ada 4 model keluarga:
Pertama, keluarga yang dikaruniai semua anaknya perempuan.
Kedua, keluarga yang dikaruniai anak semuanya lelaki.
Ketiga, keluarga yang dikaruniai anak lelaki dan perempuan.
Keempat, keluarga yang tidak dikaruniai anak sama sekali karena mandul
لِّلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ يَهَبُ لِمَن يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ (49) أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا ۖ وَيَجْعَلُ مَن يَشَاءُ عَقِيمًا ۚ إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa._ (QS. Asy-Syura, 42: 49-50)
Mana yang paling beruntung?
Banyak orang menyebut nomor tiga, kalau bisa mendidik mereka secara benar. Tapi kalau tidak bisa mendidik, mendingan nomor empat. Toh masih bisa mengadopsi anak-anak yatim untuk dirawat dan dididik secara benar. Apalagi kalau sampai hafal Alqur’an dan mendalami ilmu agama, betapa senangnya karena akan mengalirkan nilai pahala yang luar biasa. Makanya, Rasulullah ﷺ sangat memperhatikan pendidikan anak. Begitu kasih sayangnya Rasulullah ﷺ terhadap anak, beliau suka menciumnya.
Suatu kali Rasulullah ﷺ mencium seorang anak dan dilihat oleh Aqra’ bin Habis sambil berucap: “Wahai Rasulullah mengapa engkau mencium anak? Justru Rasulullah ﷺ balik bertanya; Mengapa memang? Aqra’ menjawab; “Demi Allah aku punya 10 anak seorangpun tidak pernah aku cium. Maka Nabi ﷺ bersabda;
«مَن لا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ».
“Siapa yang tidak menyayangi, maka tidak disayangi (Allah).” (Muttafaq’alaih)
Para sahabat Rasulullah ﷺ mendidik anak-anak mereka termasuk membiasakan mereka berpuasa sebelum mereka baligh. Terkadang mereka lapar tapi dialihkan dengan memberi mainan sampai berbuka. Tidak ada anak yang hebat kecuali di belakangnya ada orang tua yang hebat. Imam Syafi’ie itu hebat karena motivasi dan dukungan ibunya karena beliau yatim sejak kecil ditinggal ayahnya. Dan ibunya mengantarkannya dari Gaza, Palestina, tempat kelahirannya ke Mekkah untuk menuntut ilmu sedang ibunya bagian cari kebutuhannya.
Begitu pula Imam Bukhari diperhatikan betul oleh ibunya sebagai anak yatim. Sampai umur 16 tahun diantar oleh ibunya ke Mekkah bersama dengan saudaranya bernama Ahmad. Sesudah haji, ibu dan saudaranya Ahmad pulang ke Bukhara sementara imam Bukhari melanjutkan belajar kepada para ulama di Mekkah, lanjut ke Madinah dan berkeliling mendatangi para ulama di belahan dunia lain termasuk ke Baghdad belajar kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Dan setelah mengembara sekian lama beliau balik ke Bukhara sudah menjadi ulama besar tapi kemudian penguasa Bukhara merasa tersaingi dengan keberadaannya sehingga beliau meninggalkan kota kesayangannya Bukhara dan pergi ke Samarkand dan meninggal di sana.
bersambung …
Repost ; *Abdullah Al Faqir/AS