“Pulang Kampung” ke Waerebo

Setelah merasakan kehidupan dan kearifan masyarakat kampung tradisional Bena di kabupaten Ngada, perjalanan kemudian berlanjut ke kabupaten berikutnya; Manggarai.

Oleh: SRIYANTO – Manggarai, NTT

Meninggalkan Kampung Bena, saya dan tim Jala Mana Nusantara kemudian menuju ke Denge. Denge merupakan desa terakhir yang bisa ditempuh dengan kendaraan, jika akan berkunjung ke Waerebo.

Perjalanan ke Denge ditempuh selama kurang lebih 12 jam, dengan menaiki bus. Sebelum tiba di Denge, saya sempat mampir di Aimere melihat proses pembuatan Moke -minuman lokal Flores yang terbuat dari pohon lontar. Lalu ke Cancar melihat sawah yang berbentuk jaring laba-laba.

Setelah melakukan perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya saya dan tim memutuskan menginap di Denge, di penginapan Wejang Asih milik seorang warga bernama Blasius. Selain beristirahat dan mengumpulkan energi, kami juga menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk perjalanan ke Waerebo dini hari.

Waerebo adalah sebuah desa tradisional yang berada di kecamatan Satarmese Barat, kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Letaknya yang berada di tengah-tengah pegunungan membuat desa ini terisolasi dari kehidupan luar.

Untuk dapat menginjakkan kaki di Waerebo, dibutuhkan waktu 3-4 jam trekking (berjalan kaki) dari Denge. Berangkat pukul 04:00 dini hari, berjalan menyusuri hutan dan pegunungan sepanjang 9,5 km, akhirnya saya tiba di Waerebo, pukul 07:30.

Ada 3 pos yang dilewati untuk sampai di Waerebo. Salah satunya, yaitu pos Poco Roko. Setelah pos Poco Roko, ada pondok yang bernama Kasih Ibu. Setiap pengunjung yang datang diwajibkan untuk menabuh gendang yang berada di pondok tersebut sebagai penanda datangnya tamu bagi warga desa. Di pondok ini juga terdapat papan yang berisi segala tata tertib saat mengunjungi desa Waerebo.

Baca Juga:  4 Destinasi Wisata Unggulan Sulawesi Utara, Alam hingga Kuliner!

Setelah menabuh gendang, pengunjung dapat langsung turun menuju kawasan desa. Selanjutnya, pengunjung dipersilakan memasuki Mbaru Gendang untuk mengikuti upacara Waelu’u. Upacara ini wajib bagi setiap pengunjung yang dating untuk meminta izin dan perlindungan kepada ruh leluhur.

- Iklan -

Pagi itu, upacara dipimpin seorang tetua adat bernama Stefanus. Pengunjung dilarang melakukan aktivitas seperti memotret sebelum mengikuti ritual Waelu’u.

Dengan ramah, Stefanus menyambut saya dan tim Jala Mana Nusantara. Sebuah ritual penyambutan yang menyimbolkan sifat keramahan, penghargaan dan rasa terima kasih mereka kepada pada siapa saja yang datang berkunjung.

Dalam ritual penyambutan ini, Stefanus menghaturkan doa kepada leluhurnya menggunakan Bahasa lokal. Ritual ini juga menjadi tanda bahwa tamu yang datang sudah ditahbiskan menjadi penduduk lokal.

Para penduduk Waerebo menerima dan memperlakukan pengunjung layaknya keluarga sendiri. Bagi mereka, wisatawan yang dating dianggap sebagai keluarga yang sedang “pulang kampung”.

Waerebo terkenal dengan rumah adat berbentuk unik. Rumah yang menyerupai kerucut ini disebut sebagai Mbaru Niang.

Terdapat tujuh Mbaru Niang yang mengelilingi sebuah tempat sakral bernama Compang. Blasius mengatakan, Compang merupakan tempat bernaungnya ruh para leluhur. “Karena itu, pengunjung dilarang untuk melakukan aktivitas di Compang,” tegas Blasius.

Masing-masing Mbaru Niang memiliki nama yang berbeda, yaitu Mbaru Gena Maro, Mbaru Gena Kintam, Mbaru Gena Pirung, Mbaru Gendang, Mbaru Gena Ndorom, Mbaru Gena Jekong, dan yang terakhir Mbaru Gena Mandok.

Mbaru Gendang merupakan rumah utama bagi penduduk Waerebo. Rumah itu biasa difungsikan sebagai tempat upacara Waelu’u, yaitu upacara penyambutan bagi para tamu yang datang. Pada upacara tersebut, tamu harus menyiapkan uang sebesar Rp100 ribu per rombongan sebagai sajen untuk leluhur.

Baca Juga:  Libur Akhir Pekan, Ini 5 Destinasi Wisata Ramah Anak di Semarang

Setiap Mbaru Niang dihuni oleh enam kepala keluarga. Mbaru Niang memiliki lima tingkatan. Tingkat pertama disebut sebagai tenda, yaitu tempat tinggal penghuni rumah; tingkat kedua disebut lobo, merupakan tempatmenyimpan bahan makanan dan barang keperluan sehari-hari; tingkat ketiga disebut lentar, digunakan sebagai tempat penyimpanan benih padi; tingkat keempat disebut lempa rae, yaitu tempat menyimpan cadangan makanan jika suatu saat mengalami gagal panen; dan tingkat kelima adalah hekang code, yang merupakan tempat menyimpan sajen.

Penduduk Waerebo beragama Katolik, namun mereka tetap mempertahankan kepercayaan animisme sebagai bentuk kearifan lokal. Pada 2012, Waerebo mendapatkan penghargaan UNESCO Asia-Pacific Awards.

Kesan Komersialisasi

Penduduk serta pengelola Waerebo membentuk Lembaga Pariwisata Waerebo (LPW). Tugasnya adalah menata administrasi retribusi pariwisata di Waerebo. Lembaga ini pulalah yang menentukan tarif kunjungan di Waerebo.

Adapun tarif tersebut, antara lain Rp200.000 per orang jika tidak menginap di Mbaru Niang (termasuk makan 1 kali) dan Rp325.000 per orang (termasuk makan tiga kali) jika menginap di Mbaru Niang.

Kesan komersialisasi pun muncul di tengah wisatawan terkait mahalnya tarif yang ditetapkan oleh LPW ini. Kesenjangan lain juga muncul karena LPW menyamakan tarif retribusi antara wisatawan lokal dengan wisatawan mancanegara.

Cepat atau lambat, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Waerebo akan terus berkurang. Setidaknya, mereka yang pernah datang ke sana, tidak ingin lagi datang di lain waktu akibat tarif retribusi yang “mencekik”. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU