OPINI: Pustakawan dan Organisasinya

REFLEKSI HUT IPI KE 47 | 7 JULI 1973 - 7 JULI 2020

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Tanggal 7 Juli diperingati sebagai hari lahirnya organisasi Pustakawan yakni Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI).

Tanggal tersebut ternyata baru setahun lalu disosialisasikan oleh Pengurus IPI Pusat sebagai hari lahir organisasinya yang dirangkaikan dengan menggelar Rapat Kerja Pusat XXII dan Seminar Ilmiah Nasional Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) di Batam, 7 – 10 Juli 2019.

Sebelumnya, HUT IPI selalu diperingati oleh Pustakawan setiap tanggal 6 Juli. Mengapa demikian? Nah, ini juga yang menjadi pertanyaan. Padahal para pelaku sejarah berdirinya organisasi ini masih ada dan mengapa bisa penentuan hari lahirnya saja salah hingga kesalahan tersebut sampai diusia yang ke 45 tahun.

Kesalahan penyebutan tanggal lahir itu terakhir dapat dilihat pada laman berita di website www.perpusnas.go.id. Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia bersama Kepala Perpustakaan Nasional RI terlihat merayakan Ulang Tahun IPI ke 45 di tahun 2018 sebagai momen peringatan hari lahir IPI setiap tanggal 6 Juli.

Setahun kemudian atau diusia ke 46 tahun, tanggal lahir tersebut berubah menjadi tanggal 7 Juli dan berlaku sampai sekarang. Ini baru tanggal lahirnya yang salah, terus bagaimana dengan peran organisasi IPI  kepada Pustakawan itu sendiri?

Dilihat dari sejarahnya, organisasi Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) lahir dari sebuah Kongres Pustakawan Indonesia yang diselenggarakan di Ciawi Bogor, 5 – 7 Juli 1973.

Salah satu tujuan dari Kongres tersebut adalah keinginan yang sangat mulia dari tokoh-tokoh pejuang kepustakawanan Indonesia untuk menggabungkan seluruh unsur pustakawan yang tergabung dalam Asosiasi Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (APADI), Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia (HPCI) dan Perkumpulan Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta (PPDIY) untuk menjadi satu wadah organisasi yakni Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI).

Keinginan menyatukan seluruh perhimpunan tersebut dapat dilihat sebagai bentuk komitmen mereka untuk bergerak dan berjalan bersama  memajukan pustakawan.

Namun yang terjadi beberapa tahun kemudian mulai lahir kembali puluhan organisasi-organisasi kecil pustakawan seperti Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia (ATPUSI),  Forum Perpustakaan Khusus Indonesia (FPKI), Forum Perpustakaan Umum Indonesia (FPUI), Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) dan yang lainnya.

- Iklan -
Baca Juga:  Transformasi Pendidikan Indonesia Pasca-Kurikulum Merdeka

Kehadiran organisasi tersebut menimbulkan juga tanda tanya sejauhmana peran organisasi IPI sehingga pustakawan harus membentuk lagi organisasi baru untuk memperjuangkan keberadaannya.

Pustakawan dan tenaga perpustakaan sangat menunggu angin segar dari harapan-harapannya selama ini kepada organisasinya.

Pembentukan organisasi pustakawan dan kewenangannya sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan yakni pada pasal 34, 35, 36 dan 37.

Fungsi organisasi tersebut untuk memajukan dan memberi perlindungan profesi kepada pustakawan. Nah, apakah selama 47 tahun tersebut profesi pustakawan terlindungi mulai dari hak-haknya yang diatur dalam pasal 31 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan atau sebaliknya.

Sebenarnya tidak sedikit pustakawan yang mengeluh dari kebijakan stakeholder mulai keberadaanya yang tidak diakui seperti contoh kasus Pustakawan yang berada di sekolah yang keberadaannya disetarakan dengan staf administrasi/ Tata Usaha bahkan ada yang tidak diakui sebagai tenaga kependidikan sehingga berimbas tidak diberikan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP).

Pengangkatan kepala perpustakaan sekolah dari guru padahal ada pustakawannya dan masih banyak lagi termasuk terbatasnya penggunaan sarana dan prasarana untuk menunjang kelancaran tugas pustakawan sehingga sudah biasa pustakawan harus merogoh koceknya sendiri untuk memenuhi kebutuhan perpustakaan. Inilah sebenarnya yang harus dipikirkan oleh organisasi IPI kepada Pustakawannya.

Untuk memajukan dan memberi perlindungan kepada Pustakawan sebenarnya tidak perlu memikirkan jauh-jauh dan mencari formula dengan berbagai rapat dan seminar, cukup dulu menjalankan amanah yang sudah dirumuskan oleh pakar-pakar pustakawan terdahulu yang tertuang pada pasal 31 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan yakni bagaimana bisa memfasilitasi untuk memenuhi tiga haknya Pustakawan yakni Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas dan kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas perpustakaan untuk menunjang kelancaran tugas.

Penghasilan Pustakawan dan Tenaga Perpustakaan non PNS khususnya yang berada di Perpustakaan Umum Kabupaten/ Kota, Kecamatan, Kelurahan dan juga disekolah masih banyak dibawah nilai UMR. Bagaimana peran perpustakaan dituntut bisa maksimal dan memberikan layanan prima kepada pemustaka jika kebutuhan hidup mereka saja masih susah apalagi ditengah pandemi Covid-19.

Baca Juga:  Hari Pahlawan, Merdeka atau Mati, Prabowo "The Last Emperor"

Begitu halnya dengan pembinaan karier yang selalu dituntut berkualitas namun tidak dibarengi dengan kegiatan pelatihan yang memadahi untuk mereka dan akses fasilitas sarana dan prasarana yang serba terbatas.

Kalaupun ada pustakawan yang bisa bekerja maksimal atau power full hingga over load, itu sebenarnya ada yang dikorbankan di sisi pribadinya karena cintanya yang begitu sangat kepada perpustakaan dan tentunya tidak semua pustakawan sanggup mengikuti mereka. Nah, apakah itu dibiarkan berlangsung terus-menerus dan organisasinya hanya menutup mata.

Harus diakui keberadaan organisasi profesi Pustakawan tidak bisa berjalan sendiri dan seyogyanya juga mendapat dukungan dari pemerintah.

Hal ini diamanatkan juga dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan di pasal 34 ayat 4 yang menyebutkan pembinaan dan pengembangan organisasi profesi pustakawan difasilitasi oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/ atau masyarakat.

Jadi, sinergi antara organisasi Ikatan Pustaka Indonesia (IPI) dan Lembaga Perpustakaan yang mewakili pemerintah perlu dijalin keharmonisan bukan sebaliknya berjalan sendiri dan membentuk organisasi tanpa sepengetahuan lembaga perpustakaan sebagai instansi pembinanya.

Jika terjadi, hal tersebut akan menambah permasalahan dalam pembinaan pustakawan dan tenaga perpustakaan khususnya dalam pengambilan kebijakan dari stakeholder.

Begitu halnya dengan terbentuknya organisasi-organisasi kecil diluar IPI sepatutnya masih dalam koridor naungan dan binaan IPI dan tidak juga berjalan sendiri sehingga seluruh kegiatan yang dilakukan dapat memperkuat kinerja organisasi IPI dan pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas dan kinerja pustakawan di masa yang akan datang.

Selamat Memperingati Hari Lahir Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) ke 47, IPI Jaya, Pustakawan Bahagia.(*)



Oleh: Tulus Wulan Juni (Pustakawan Madya Dinas Perpustakaan Kota Makassar)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU