Reklamasi CPI, Demi Kepentingan Siapa?

CPI adalah titik emas atau jantung kota Makassar. Sebuah kawasan strategis dengan background laut atau pantai losari yang sangat indah.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, Muhammad Amin menilai bahwa perjanjian lanjutan kerja sama reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) semata-mata sebagai langkah Pemprov Sulsel untuk menyelamatkan wajah PT Yasmin Bumi Asri dan PT Ciputra Surya dari kegagalan reklamasi pertama, akibat tak mampu memenuhi janji ke Pemprov Sulsel (sulsel.fajar.co.id, 16/1/2023). 

Lebih lanjut, Walhi Sulsel menganggap rencana lanjutan reklamasi CPI di Kota Makassar seluas 12,11 hektare merupakan sesat pikir. Sebagaimana dilansir dari laman Idmtimes. Walhi menganalisis bahwa dengan dilanjutkannya reklamasi ini, akan menimbulkan masalah baru. Dimana pada tahap pertama saja sudah membuat kerusakan lingkungan yang cukup parah.

Seperti dilansir dari laman rm.id. Amin menjelaskan, secara alamiah reklamasi membawa dampak negatif di Sulsel. Pasalnya, pasir merupakan salah satu dari tiga reduktor gelombang ombak di perairan Galesong selain karang. Penyedotan pasir untuk proyek reklamasi menimbulkan rongga sedalam 10-20 meter yang dapat mengakibatkan perubahan ekosistem.   

Masih dalam laman yang sama, catatan Walhi ada 11 desa yang terkena dampak abrasi akibat penambangan pasir laut untuk reklamasi. Lima desa diantaranya dikategorikan parah sebab ada 27 rumah yang rusak parah. Belum lagi terganggunya ekosistem pantai yang menyebabkan menurunnya pendapatan nelayan tradisional. Jika demikian, reklamasi CPI sebenarnya untuk kepentingan siapa?   

Kawasan Strategis yang Mencuri Perhatian

CPI adalah titik emas atau jantung kota Makassar. Sebuah kawasan strategis dengan background laut atau pantai losari yang sangat indah. Semilir angin di Kota Anging Mamiri makin terasa sejuk jika berada di areal ini. Wajar jika banyak investor yang melirik dan berhasrat menjadikannya sebagai salah satu kawasan bisnis yang sangat menggiurkan.

Baca Juga:  Hari Pahlawan, Merdeka atau Mati, Prabowo "The Last Emperor"

Indonesia menggenjot pembangunan infrastruktur di hampir semua wilayah. Termasuk pula kegiatan reklamasi untuk mendukung pembangunan tersebut. Dimana reklamasi adalah pengeringan lahan atau penimbunan tanah dengan menambah tanah sejumlah volume tertentu ke dalam laut dan daerah pesisir pantai. 

Salah satu keuntungan dari kegiatan reklamasi adalah tidak perlu lagi memikirkan pembebasan lahan. Pasalnya, pembebasan lahan menjadi salah satu kendala dalam pembangunan infrastruktur. Selain itu, view laut sangat indah dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para investor dan pengunjung.

Namun, dari keindahan wilayah CPI menyimpan banyak tanya. Berbagai dampak negatif yang muncul, tak membuat proyek ini dibatalkan. Walau banyak pihak yang menolak. Mengapa proyek ini terkesan terus dipaksakan walau kerusakan lingkungan sudah terpampang di depan mata? Jika dianalisis akan terlihat arah keberpihakan proyek raksasa ini. Ada beberapa indikator yang bisa penulis paparkan, diantaranya:

Pertama, paradigma pembangunan berbasis kapitalistik. Sistem ekonomi kapitalis yang diemban negeri ini, meniscayakan segala hal memprioritaskan kepada para pemilik modal (kapital). Negara seolah hanya sebagai regulator. Fungsi sebagai pengayom rakyat terlihat minimalis. 

- Iklan -

Kedua, asasnya bertumpu pada sekularistik. Asas sekuler menjadikan transaksi yang ada menabrak aturan Ilahi. Transaksi ribawi dibalik utang menjadi pilihan utama sistem saat ini. Menegasikan faktor manusia dan alam sebagai konsekuensi dari pembangunan itu sendiri. Sehingga munculnya petaka tak membuat bergeming dari rencana proyek-proyek yang ada.

Ketiga, rakyat sebagian besar apolitis. Kongkalikong penguasa dan pengusaha sudah sangat lumrah dalam sistem ini. Politik transaksional sudah menjadi rahasia umum. Sayangnya, masih sangat sedikit rakyat yang paham hitamnya dunia politik. Sehingga, rakyat seolah tak pernah jera akibat dampak dari setiap pembangunan yang ada. Padahal yang mendapatkan keuntungan besar adalah para kapitalis. Rakyat hanya mendapatkan residu pembangunan.

Baca Juga:  Komunitas MDM, Wujudkan Kepedulian dan Selamatkan Nyawa

Tak dimungkiri realita seperti ini berlaku hampir di seluruh wilayah Indonesia, termasuk kawasan CPI. Seyogianya CPI menjadi magnet baru bagi warga Kota Makassar dan sekitarnya jika dikelola dengan benar, yakni sesuai dengan aturan-Nya.   

Instrumen yang Adil

Pembangunan infrastruktur merupakan hal urgen dalam sebuah wilayah. Para ahli dalam berbagai kebidangan harus dilibatkan secara maksimal untuk menganalisis berbagai dampak yang akan ditimbulkan. Berdasar ketakwaan kepada Allah Swt. setiap individu dalam sistem Islam bekerja secara komprehensif dan bertanggung jawab. Tersebab landasan beraktivitas adalah demi meraih rida-Nya. 

Negara menerapkan sistem Islam secara paripurna. Semua aktivitas berlandaskan syariat Islam, tak terkecuali pembangunan infrastruktur dengan cara reklamasi. Dimana fungsi hukum syarak diantaranya adalah menjaga harta dan jiwa. Sehingga tak ditemukan opsi utang ribawi dan munculnya kerusakan lingkungan. Dengan instrumen sedemikian adil, otomatis menghilangkan bahaya termasuk di dalamnya harta yang berkah dan keselamatan jiwa.

Inilah solusi hakiki dari semua problem hari ini. Penerapan syariat Islam secara paripurna adalah suatu kebutuhan yang urgen dan mendesak. Hal ini sudah terbukti sekitar 1400 tahun yang lalu. Secara historis dan empiris, selama 13 abad sistem Islam mampu menyejahterakan rakyat tanpa batas. 


Reklamasi CPI
Suryani S.

Penulis: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T., Dosen Teknik Sipil dan Pemerhati Sosial

 

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU