Rektor Unhas Khatib Shalat Idul Adha di Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar

Rektor Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc., beserta keluarga melaksanakan shalat Idul Adha 1443 H di Masjid Al-Markaz Al-Islami Jendral M. Jusuf, Jl Masjid Raya, Makassar, Minggu (10/7).

Pada kesempatan tersebut Prof. JJ bertindak sebagi khatib dengan menyampaikan khotbah berjudul “Eksistensi Kurban dalam Mendekatkan Diri kepada Allah SWT”.

Mengawali khutbahnya, Prof. JJ  menyampaikan perayaan hari raya Idul Adha merupakan kesempatan bagi umat muslim untuk berkumpul dan mengungkapkan kesyukuran dan pengabdian kepada Allah SWT.

“Di hari Idul Adha ini dan tiga hari setelahnya yang disebut sebagai hari-hari tasyriq, bagi umat Islam disunnahkan mengumandangkan kalimat takbir, mengagungkan nama Allah, sebagai bentuk kepasrahan kepada Sang Maha Pencipta,” kata Prof. JJ.

Lebih Lanjut, Prof. JJ menyampaikan Idul adha yang dirayakan setiap bulan Dzulhijjah bermakna “kembali berkurban” yaitu dengan  menyembelih kambing, sapi atau unta dengan syarat-syarat tertentu setelah melaksanakan shalat Idul Adha dan pada hari-hari tasyriq sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Baca Juga:  Bagaimana Peran GMP dalam Industri Farmasi?

“Sehubungan dengan perintah untuk berkurban tersebut, maka Rasulullah SAW., setiap tahun selalu menyembelih hewan kurban dan tidak pernah meninggalkannya. Oleh karena itu, orang muslim yang telah mempunyai kemampuan untuk berkurban tetapi tidak mau melaksanakannya pernah diancam oleh Rasulullah SAW yang bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah RA,” jelas Prof. JJ.

Dalam akhir khotbahnya, Prof. JJ menyampaikan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam melaksanakan perintah qurban dan sebagai peristiwa yang diabadikan dalam bentuk melontar Jumrah Ula, Jumrah Wustha dan Jumrah Aqabah dalam pelaksanaan Ibadah Haji.

Baca Juga:  Jurusan Farmasi dan Masa Depannya di Dunia Kerja

Melalui khutbahnya, Prof. JJ mengajak umat muslim untuk melihat fakta dan realita yang terjadi bahwa begitu banyak orang-orang yang tidak memiliki penghasilan tinggi, tidak memiliki pangkat, jabatan dan status sosial yang tinggi mampu menunaikan ibadah haji.

“Diantara mereka ada yang pekerjaanya hanya mengayuh becak dan hasilnya ditabung, mampu menunaikan ibadah haji. Dengan demikian, makna ‘mampu menunaikan ibadah haji’ bukan hanya sebatas memiliki penghasilan tinggi, pangkat, jabatan dan status sosial yang tinggi, tetapi makna mampu adalah lebih dalam dari itu,” jelas Prof. JJ.

- Iklan -

Setelah mendengarkan khotbah, pelaksanaan shalat Idul Fitri ditutup dengan pembacaan doa. (*

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU