Kelak, berbekal air yang berkumpul itu, sang ibu tidak perlu repot membesarkan bayinya hingga dia menjadi seorang pemuda bijaksana sampai ayah kandungnya kembali tiba.
Tapi, pada detik itu, di hadapan sebuah keajaiban, sang ibu sadar bahwa kelak anaknya akan tumbuh menjadi ayahnya: seorang nabi dengan segala mandat surga dan dunia yang harus ditinggalkannya.
Atas izin Tuhan, dia bergumam.
***
Pertama kali aku melihat Ibu tidur, dia tidak terbangun sampai jam sembilan pagi. Itupun karena aku susah payah membangunkannya.
Pada meja di samping sofa, di sebelah teh tawar hangat yang sudah didinginkan malam, terdapat botol berwarna putih yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
Pada botol itu terdapat label dengan huruf-huruf langka seperti q, x, dan z. Aku tidak pernah bisa mengingat namanya. Kubuka botol itu dan di dalamnya berkumpul butir-butir pil yang juga berwarna putih.
Aku berniat untuk mencobanya, tapi aku khawatir kalau itu racun tikus yang tempo hari rencananya Ibu beli.
Hari itu adalah pertama kalinya aku terlambat berangkat sekolah.
Untungnya aku punya tiket emas untuk tidak pernah dimarahi oleh guru manapun. Semenjak masuk SD, aku selalu jadi juara kelas. Aku tidak tahu kenapa. Kalau ada yang bertanya, aku selalu berpikir lama dan Ibu pasti menyerobot memberi jawaban dan bilang kalau aku rajin belajar.
Tapi faktanya aku tidak pernah belajar di rumah. Jarang pula aku menyentuh buku. Semua buku yang ada di rumah adalah bacaan Ibu yang tebal dan tidak bergambar. Aku tidak tahu apa yang membuat Ibu bilang kalau aku rajin belajar.
Lalu, aku teringat satu waktu ketika aku dan Ibu datang ke festival perayaan hari jadi kota dan menonton seorang anak yang umurnya jauh di bawahku sedang bermain biola begitu fasihnya, seakan-akan jika di hari kelahirannya dia diberikan sebuah biola, dia dapat langsung memainkannya dengan sempurna.
Kalau kata Ibu, dia punya bakat, semacam miniatur mukjizat. Ibu menebak, orang tua anak itu pasti seorang musisi handal sehingga kepekaan telinga dan jari mereka turun kepadanya. Bakat sering hanyut dalam darah.
Ibu bilang aku juga punya bakat.
Tapi sepertinya bakat bukan cuma perihal darah dan mukjizat. Dia juga bisa dipicu oleh obat. Contohnya Ibu: setelah rajin menelan pil yang awalnya kukira racun tikus itu, Ibu bukan cuma pandai kelelahan, dia juga jadi ahli ketiduran. Sekarang rutinitas baruku adalah membangunkan Ibu setiap pagi.
Semenjak Ibu senang tidur, suara tombol-tombol komputer Ibu tidak pernah lagi bersuara. Lembar-lembar kertas pada rak bukuku tidak pernah bertambah. Ibu juga semakin jarang menuturkan kisah-kisahnya.
Aku pun tidak pernah meminta. Aku mulai tumbuh pada umur yang berpijak pada dunia nyata, yang tidak butuh cerita anak-anak.
Selain itu, Ibu jadi tidak pernah membawa naskah-naskahnya saat mengantarku ke sekolah. Kami malah jadi sering berkunjung ke rumah kakak Ibu yang tidak pernah kutahu siapa.