Setiap pulang dari sana, Ibu selalu membawa amplop putih tebal yang selalu dia masukkan segera ke dalam tasnya. Kemudian Ibu pasti mengajakku makan di luar.
Kami juga jadi jarang pergi ke makam. Pusara itu pasti sudah jadi kerontang seperti padang yang gersang.
Sedangkan mukjizatku turun bagai hujan yang menerus. Dominasiku di peringkat-peringkat kelas tidak berhenti di SD saja.
Di SMP, aku jadi anak favorit sekolah pada seluruh ajang adu otak. Di SMA, aku peringkat pertama paralel sekolah. Kalau teman-teman bertanya kunci sukses untuk dapat nilai bagus, jawabanku belajar yang rajin.
Bersamaan dengan itu, Ibu makin luput dari rumah. Sekarang dia bagai hantu gentayangan dengan kulit kaku dan mata abu-abu. Aku jadi orang utama yang mengurus rumah.
Aku yang membersihkan semua ruangan, aku yang mencuci piring dan gelas, aku yang membayar listrik dan air dengan uang yang entah bagaimana selalu menumpuk di sela-sela sofa.
Satu hari, Ibu tidak menjemputku dari sekolah karena pasti dia tertidur. Padahal hari itu adalah jadwal rutin kami untuk berkunjung ke kakaknya. Aku berinisiatif untuk datang sendiri ke sana.
Sesampainya di sana, kakak Ibu yang juga asing melihat wajahku hanya berbasa-basi canggung dan langsung menyodorkan amplop putih itu. Aku tidak pernah tahu isinya apa dan itu pertama kali aku akan membukanya.
Setelah aku menemukan kalau di dalamnya terdapat setumpuk uang kusam yang mirip dengan uang yang sering kuambil dari sela-sela sofa, aku baru mengerti semuanya. Aku paham apa-apa yang jadi misteri Ibu tanpa perlu bertanya kepadanya. Aku paham kalau kami tidak punya uang.
Aku paham kalau keluarga kecil ini dulu ditopang oleh Ayah dan tugas Ibu hanya tinggal bahagia. Aku paham kalau Ibu menganggap dirinya sebagai pengarang, tapi dia tidak punya bakat. Aku paham kalau tulisan Ibu tidak bisa bersaing di pasar.
Aku paham diam-diam Ibu mengambil sebagian hadiah lombaku yang uangnya masih bersih mengkilap untuk tambahan modal kebutuhan sehari-hari. Aku paham kalau dia sebenarnya lebih suka teh manis hangat, tapi harga gula jadi pertimbangan.
Aku jadi paham apa itu insomnia. Aku paham cara kerja obat tidur. Aku paham maksud kecanduan. Aku paham maksud kematian. Aku masih tidak paham maksud kehilangan. Aku paham kalau selama ini sebenarnya aku tumbuh sendiri dan bisa selamat dari hidup karena aku punya bakat.
Aku paham bahwa tetes darah Ayah lebih berjasa pada hidupku dibanding dengan seluruh kehadiran Ibu. Aku paham kalau Tuhan bukan seorang perempuan.
Maka, pada hari-hari tenang yang canggung seusai SMA, aku memutuskan untuk menjadi seorang dokter. Ketika aku mengatakan rencanaku kepada Ibu, matanya berubah biru.
***
Seorang istri nabi memacu kuda sekencang-kencangnya menjauhi desa. Dia kabur bersama suaminya sebab penduduk desa itu adalah segerombolan pendosa.
Satu hari, Tuhan memperingatkan sang nabi untuk membawa keluarganya pergi pada malam hari karena seluruh desa akan dijatuhkan hukuman.
Kata Ibu, Tuhan tidak pernah tanggung-tanggung kalau memberi hukuman.
Maka, seluruh penduduk desa dibuat buta. Lalu, Tuhan membuka tanah dan menjungkirbalikkan desa itu pada perutnya. Seluruh kaum yang sudah tidak bisa melihat sekarang jatuh ke dalam Bumi tanpa bisa merasakan pijakan kaki mereka.
Kemudian, setelah kebutaan dan keruntuhan, Tuhan juga mengirimkan hujan bola api hingga seluruh desa lumat bagaikan tanah yang liat.
Tanpa sepengetahuan sang nabi, ternyata istrinya adalah salah satu dari pendosa tersebut. Istrinya bukan makhluk suci semacam dirinya. Dia sekedar manusia biasa. Dengan ikut pelarian, sang nabi membawa satu pendosa terakhir untuk selamat dari bencana.
Tapi kata Ibu, Tuhan tahu segalanya dan selalu punya rencana.