Requiem kepada Istri Seorang Nabi: Sebuah Antologi

Di perjalanan, sang nabi memperingatkan kepada rombongannya untuk tidak pernah menegok ke belakang karena siapa pun yang menengok akan dilaknat oleh Tuhan. Tapi istrinya menengok ke belakang, pada kaumnya yang binasa.

Maka, Tuhan menjerumuskan dia untuk ikut runtuh bersama dengan masa lalunya.

***

Ini pembelaanku: Ibu dibunuh masa lalunya sendiri.

Malam itu Ibu menelponku. Tapi seperti banyak telepon lain yang masuk, dia tidak bisa aku angkat karena jadwal jaga rumah sakit yang sangat padat. Aku hanya sempat melihat ada notifikasi satu telepon tidak terangkat dan satu pesan masuk.

Pesan itu baru aku buka setelah semua urusanku dengan pasien selesai, sekitar lima jam setelah Ibu mengirim. Isi pesan Ibu singkat.

Ibu mual sama pusing.

Aku mencoba menelepon Ibu dua kali tapi tidak ada yang mengangkat. Lalu, aku mengirim pesan balasan untuk memintanya membeli obat tertentu. Aku juga mengirim pesan pada Mbak Marni, tetangga yang kubayar untuk membantu Ibu menyelesaikan pekerjaan rumah karena aku sudah tidak serumah dengan Ibu, untuk membelikan obat.

Sepintas kemudian, Mbak Marni menelponku dengan suara yang melengking dan terbata-bata. Aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang dia katakan, tapi aku tahu ini adalah ciri-ciri sebuah kabar buruk. Lalu, seseorang yang aku tidak kenal suaranya mengambil alih telepon dan mulai berbicara.

- Iklan -

“Pak, ini ibunya udah gak sadar.”

Ibu dilarikan ke rumah sakit dan aku sendiri yang menjemputnya dari ambulans. Tapi ketika tubuh Ibu datang, yang kulihat hanya seorang pasien lainnya. Dia hanya seorang wanita lansia yang dihantui kesepian atau rasa bosan dan akhirnya memutuskan untuk bermain Tuhan.

Ibu menenggak obat tidur sampai pada dosis yang fatal. Sekarang sebagian takdirnya ada di tanganku. Bukan sebagai anaknya, tapi seorang dokter yang kebetulan sedang kebagian jatah jaga malam.

Barangkali ada bagian Tuhan yang memang seorang perempuan karena Ibu berhasil bermain peran menjadi diri-Nya. Hari itu, aku menemukan pusara yang harus aku kunjungi seketika berlipat ganda.

***

Aku kembali ke rumah lamaku untuk mengambil perabot yang masih berguna dan membuang sisanya. Awalnya, aku berencana untuk mengontrakkannya. Tapi, tidak mungkin ada yang ingin hidup pada bangunan sesedih ini.

Sepertinya dia akan kubiarkan kosong saja. Biarlah dia dihuni hantu-hantu yang menggelandang dan mencari sarang untuk tinggal.

Ketika aku membuka pintu depan, aroma buku masih menusuk. Tapi tidak lagi ada harum sampul yang seperti kayu gaharu.

Dia diganti oleh bau kertas lapuk yang kuning berkarat dicemari waktu. Setelah kutinggal, rumah ini jadi sangat tidak terurus. Buku dan lembar-lembar kertas berserakan di mana-mana. Gelas teh yang tidak dicuci. Sepertinya Mbak Marni juga tidak kuat mengikuti pacu gemuruh Ibu ketika dia tidak sedang tidur.

Satu-satunya tempat yang tidak disentuh Ibu adalah kamarku. Kuncinya masih menggantung di gagang pintu. Ketika kubuka, semua lapis barang diselimuti debu. Kecuali satu petak.

Ada satu lembar kertas segar di atas kasurku. Aku mengambil dan membaliknya. Di belakang kertas itu terdapat tulisan singkat yang ditulis tangan menggunakan tinta biru.

Sebuah cerita. Sangat singkat. Tapi ini bukan tentang istri seorang nabi, melainkan nabi itu sendiri. Begini isinya:

Seorang nabi diangkat menjadi wali terakhir Tuhan dan dinobatkan sebagai manusia yang paling suci. Tapi, dia tidak bisa menyelamatkan pamannya sendiri dari berhala dan bara api.


Penulis: Finlan Adhitya Aldan


BACA CERPEN LAINNYA DISINI

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU