Buku yang diterbitkan bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) ini merupakan satu dari lima belas judul buku yang diterbitkan (diluncurkan) Panitia pada peringatan HPN yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.
Judul : Wartawan Menyidik, Kebohongan Terungkap
Penulis : Upa Labuhari
Terbit : 2011
Penerbit :RMBooks PT Wahana Semesta Intermedia
Tebal :291 halaman
Sebuah buku lain dari rombongan buku ini, “Menerobos Blokade Kelelawar Hitam” yang saya sunting dan tulis dan diterbitkan Penerbit “Identitas” Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2010.
Buku “Wartawan Menyidik, Kebohongan Terungkap” (WMKT) saya peroleh langsung dari penulis, Upa Labuhari, dengan catatan dan tanda tangan di halaman dalam Jakarta 29 Juni 2021 disertai catatan “Kupersembahkan kepada rekan-rekan wartawan di Makassar”.
Buku ini terdiri atas tiga bagian, yakni Prolog, Kisah Pengalaman Meliput, dan ketiga Menyoroti Kinerja Aparat dan Institusi Kepolisian. Melihat kerangka isi buku, sudah dapat dipastikan karya pria kelahiran Makassar 16 Juni 1953 tersebut bernuansa pengalaman yang diselingi dengan catatan kritis atau evaluasi terhadap institusi kepolisian.
Dari sejumlah tulisan yang berkaitan dengan pengalaman meliput, saya ”nukilkan” (kutip) tulisan di bawah judul “Polisi dan Penjahat sebagai Marasumber dan Sahabat” (hlm 3).
Upa Labuhari, satu dari 28 wartawan yang ‘ngepos” di Polda Metro Jaya pada masa itu. Semua wartawan bekerja keras, memburu informasi ekslusif bagi medianya masing-masing.
Upa bekerja di harian sore “Sinar Harapan” (SH) kala itu. Jadi, berita pagi harus termuat pada edisi SH yang harian sore. Tentu ini sangat menguntungkan karena kebanyakan media terbit pagi, Yang jadi pesaing, paling tidak hanyalah TVRI dan RRI. Tetapi, SH, masih unggul dalam hal kedalaman berita dan konten.
Memanfaatkkan penjahat sebagai narasumber dan sahabat, suatu hari Upa diajak Anton Medan, pria yang pertama kali masuk penjara Polda Metro Jaya lantaran membawa lari beberapa sepeda motor milik pengendara yang dia tangkap saat menyamar sebagai anggota Polisi Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Upa mengenal dia, saat Anton diperiksa Tekhab 007 di kamar 7 Sat Reserse Polda Metro Jaya.
Anton Medan, puji Upa, termasuk pria pekerja keras dari Pematang Siantar Sumatera Utara. Karena salah asuh dan tidak memiliki uang menghidupi dirinya, sebagai perantau di Jakarta, Anton menjadi penjahat ulung dan pencuri kecil-kecilan hingga menjadi perampok bank dan toko emas.
Setiap kali ditangkap karena kejahatannya dan diperiksa di kamar 7 itu, Anton selalu mengatakan kepada Upa akan insaf setelah menuntaskan masa hukumnya. Namun, setiap kali berbicara seperti itu, beberapa bulan kemudian dia ditangkap lagi. Setelah itu dia kembali mengumbar akan insaf betul. Dan, ternyata itu dia buktikan. Insaf.
Sekali waktu, Upa bertemu dengan Anton di kamar 7 Sat Reserse Polda Metro Jaya.
“Masih banyak lokasi perjudian di kawasan Tambora Jakarta Barat,” tiba-tiba dia berkata dan menghendaki Upa ke lokasi itu untuk melakukan investigasi.
“Bagaimana bisa masuk ke lokasi perjudian itu?,” Upa yang tersengat informasi Anton Medan itu langsung merespons.
“Bersama saya, masuknya. Saya yang bawa Abang masuk ke lokasi judi itu,” jawab Anton dengan logat Cina Betawi.
“Kalau begitu, kapan kita jalan sama-sama,” Upa yang penasaran itu terus mengejar.
“Sekarang juga bisa. Abang kan tidak ada liputan sore ini ‘kan?,” kata Anton lagi.
“Oke, mari kita berangkat sekarang,” kata Upa dan langsung bergerak meninggalkan Polda Metro Jaya sore itu.
Menunggang mobil jeep yang sudah dimodifikasi, keduanya meluncur ke kawasan Tambora.
“Ini dia, salah satu tempatnya,” tiba-tiba Anton Medan berkata setelah beberapa waktu meluncur kemudian memelankan lalu memarkir kendaraannya di depan toko yang sepintas lalu bukan lokasi judi.
Untuk ke lokasi judi, orang bisa melalui jalan tikus. Melalui jalan itulah keduanya merangksek ke dalam, tempat sekitar 100 orang sedang bermain.
“Kenalkan. Ini kawan saya namanya Acong,” kata Anton Medan kepada seorang pengawas permainan judi di tempat ini memperkenalkan Acong — ehhh….Upa Labuhari yang disamarkan namanya.
“Ia juga mau main, tetapi lihat lokasi dulu,” Anton menambahkan.
Upa pun mengulurkan tangan kepada pengawas tersebut sambil menyebut namanya Acong.
Tanpa banyak bicara dengan pengawas perjudian itu, Anton pun menggaet Upa keluar dari lokasi perjudian yang banyak dikunjungi perempuan tersebut.
“Jangan memperlihatkan wajah serius ketika ada di ;lokasi perjudian. Abang jangan seperti seorang reserse yang matanya terbelalak ke sana kemari. Abang tenang saja seperti tidak ada sesuatu yang terjadi,” pesan Anton saat keduanya berada di luar lokasi perjudian pertama.
Sekitar 30m dari lokasi pertama, langkah keduanya tertuju pada sebuah tempat lain.
“Ini tempat kedua yang kita datangi. Di sini paling ramai pengunjungnya. Abang jangan seperti tadi,” Anton memberi nasihat yang dibalas Upa dengan anggukan kepala, bersamaan dengan langkahnya mengikuti Anton yang memasuki jalan tembus ke lokasi perjudian.
Pengunjung di lokasi kedua sangat ramai. Anton memperkenalkan Upa kepada pemilik permainan judi ini.
“Kenalkan kawan saya, Acong dari Medan,” kata Anton serius memperkenalkan Upa kepada tuan rumah perjudian.
“Anton, ini mah bukan Acong, tapi wartawan di Polda Metro Jaya, saya selalu lihat dia,” kata pemilik perjudian itu, bertepatan dengan Upa mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan dia.
Upa pun menarik kembali tangan yang sudah terlanjur diarahkan ke pemilik lokasi.
“Rasanya, muka bagaikan ditampar di hadapan orang banyak. Apalagi ia menyambung pembicaraannya dengan mengatakan,”jangan bawa wartawan kemari, kita bisa hancur,” tulis Upa di halaman 22 bukunya.
“Oke, Bos,” Anton Medan masih menyapa sambil berlalu di depan pemilik lokasi judi kedua ini.
Dalam perjalanan pulang,kedua saling tertawa terbahak-bahak. Habis, usaha penyamaran kedua ternyata gagal.
Anton Medan menilai, terbongkarnya kasus penyamaran kedua ini disebabkan Upa Labuhari terlalu familiar di Polda Metro Jaya. Hampir semua orang yang pernah mampir di kamar 7 atau kamar berapa pun di Sat Reserse Polda Metro Jaya masih dan pasti mengenalnya.,
“Jadi, kita tidak bisa menyamar tanpa mengubah wajah Abang dulu,” imbuh Anton Medan sembari mengakui kegagalan penyamaran terakhir bersama Upa.
Itu baru satu kisah yang tersaji di dalam buku ini. Pada Bab II ini masih ada judul lain yang lebih menggoda. Seperti,”Mengungkap Kasus Mayat Terpotong-potong”,” Melacak Kasus Kejahatan Pembunuhan”, “Mengungkap Tabir di Balik Perjudian”,” Melacak Jejak Gerakan Terorisme”, ”Meliput Pengejaran Pelaku Tindak kekerasan”,” Meliput Kasus Pelanggaran Lalu Lintas”, dan “Meliput Penangkapan Pelalu Narkoba”.
Upa Labuari pada tahun 1969 tercatat sebagai wartawan Harian “Tegas” Makassar dan tiga tahun kemudian (1972) menjadi wartawan mingguan sekolah di Jakarta. Masih pada tahun itu, dia pun diterima sebagai wartawan “Sinar Harapan” (SH) dan menjabat Redaktur Kota harian “Suara Pembaharuan (SP)” (1990).
Jabatannya kemudian menjadi “koordinator redaktur daerah dan asisten redaktur pelaksana Harian Suara Pembaharuan (2000), Pemimpin Redaksi Majalah Pilar Jakarta (2003), Pemimpin Perusahaan Koran Jakarta (2005), Pemimpin Redaksi Tabloid Rambu Kota (2006-sekarang) dan Pemimpin Redaksi tabloid Nucalale (2009-sekarang).
Ketua Wartawan Unit Polri PWI Jaya (1992), Ketua Departemen Wartawan Kepolisian PWI Pusat (2003-2008), Ketua Departemen Wartawan Kepolisian PWI Pusat (2008-2013). (M.Dahlan Abubakar).