Pembicaraan seputar demokrasi kita belakangan kian mencuat di atas permukaan dalam ranah perbincangan publik. Isu ini kian hangat menilik pada fenomena bank demokrasi kita yang sepertinya berangsur mengalami kebangkrutan. Tema tentang penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden hingga pada fenomena kemerosotan demokratisasi dalam kalangan akar rumput kian meramai panggung pembicaraan seputar eksistensi demokrasi kita.
Restrukturisasi demokrasi adalah suatu upaya penataan kembali terhadap sistem demokrasi yang hari ini kian memprihatinkan. Eskalasi politik dalam negeri yang terkocar kacir oleh berbagai macam kepentingan menyebabkan tensi politik semakin panas. Apalagi belakangan partai politik gencar melakukan konsolidasi politik dengan partai politik lain yang melepaskan jejak poros politik 2024.
Kompetisi hasrat kuasa hingga memainkan isu primordial itulah yang perlu dipertimbangkan dan dijaga oleh kita semua karena hanya dapat meninggalkan polarisasi dalam masyarakat kita, seperti yang dirasakan hingga hari ini. Perilaku politik demikianlah yang penulis analogikan sebagai “siklon” yang menggiring kehidupan demokrasi kita menuju pada kemunduran (regresi).
Gagasan bahwa proses demokrasi Indonesia dibajak oleh elit lama dan para orang kuat lokal melalui cara-cara yang disediakan demokrasi (elektoral), merebaknya kekerasan, melembaganya politik uang, hingga meluasnya korupsi di kalangan politisi bahkan dari lingkaran inti sejumlah partai politik adalah bukti bahwa jalan demokrasi elektoral yang diambil Indonesia perlu dipersoalkan kembali.
Kita diyakini telah terjebak dalam lingkaran setan demokrasi elektoral yang memunculkan banyak anomali: oligarki, politik uang, kekerasan, yang justru membawa imajinasi publik ke arah dunia kekelaman yang sangat jauh: demokrasi sebagai biang keladi kesulitan ekonomi dan aneka kesulitan turunan lainnya. Karenanya, secara sporadis tapi konsisten mulai memunculkan tanda-tanda berputus asa dan apatis.
Lantas, benarkah kita negara yang demokratis dalam praktek kehidupan bernegara hari ini. Demokrasi yang membebaskan dari stigma yang mensakralkan keterbukaan dan politik yang dianggap tabu. Ataukah sekedar abstraksi semata tanpa adanya implementasi nyata, namun sesungguhnya hanyalah suatu sistem yang membesarkan resentralisasi yang berkedok demokrasi dan berkamuflase dalam konstitusi.
Indonesia telah menerapkan sistem demokrasi sejak Demokrasi Masa Revolusi (1945-1950), Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Demokrasi Orde Baru (1966-1998), serta pelaksanaan Demokrasi Era Reformasi (1998-sekarang) 2. Perjalanan panjang demokrasi kita bukanlah suatu hal yang mudah, namun harus melewati berbagai macam pergolakan, bahkan sampai merenggut korban jiwa karena krisisnya keadilan dan demokrasi.
Dalam perundang-undangan terpampang dengan gamblang regulasi tentang konsep demokrasi. Hal ini termaktub jelas dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian lebih lanjut diatur tentang masa jabatan presiden dalam Pasal 7 UUD 1945. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Konsep ini secara pragmatis dapat diartikan bahwa masa jabatan presiden hanya batas dua periode.
Selain itu, Pasal 60 Undang-undang nomor 23 tahun 2014 juga mengatur hal serupa tentang jabatan kepala daerah yang berbunyi, ”masa jabatan kepala daerah adalah selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Konsep ini sangat representatif dengan demokrasi yang lumrah kita sebut dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Lantas siapa yang menghendaki demokrasi kita cacat?
Hari ini rasa-rasanya demokrasi hanya dinikmati oleh segelintir orang. Masyarakat yang memiliki entitas besar yang memberikan legitimasi kekuasaan padanya untuk memegang cambuk kekuasaan dipandang sebelah mata karena kesibukkannya untuk membesarkan diri dan oligarkinya.
Hal ini, nampak sangat jelas belakangan ini ketika kita kagetkan pada fenomena harga minyak goreng di pasaran yang mengikuti kehendak pasar yang melambung tinggi. Hal muncul atensi publik yang mempertanyakan tidakkan ini, kemanakah mereka yang memiliki andil untuk menekan gejolak pasar? Padahal kita adalah negara dengan kebun sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia, artinya bahwa sudah pantas dan layaknyalah kita mendapatkan yang lebih baik.
Jawabannya sederhana. Jean-Jacques Rousseau, filsuf romantik Prancis pra-Revolusi mengatakan, rakyat tidak memiliki kepentingan tunggal yang bersifat umum. Dengan menyebut “rakyat”, kita sebenarnya menyederhanakan sebuah mozaik kepentingan yang rumit. Baik kaum pengusaha maupun pekerja, misalnya, merupakan bagian sah dari rakyat.
Kedua kelompok ini adalah warganegara yang membayar pajak dan menjadi subyek yang dilindungi hukum yang sama. Namun, kepentingan keduanya bisa berbeda, atau dalam beberapa hal tertentu mungkin berlawanan. Di antara kaum pengusaha pun, sebagaimana juga terjadi di antara kaum pekerja, ada beragam kepentingan yang tidak selalu seiring.
Kekerdilan nurani kita yang membungkus kebijakan kita demi kepentingan rakyat meskipun, kepentingan itu tidaklah mendominasi kepentingan umum. Dualisme makna dari sebutan “rakyat” inilah yang mungkin menjadi salah satu alasan mengapa kita tidak bisa membedakan antara penghisap (oligarki) dan masyarakat yang sedang berkesusahan. Kemudian fenomena politik uang dan biaya berpolitik yang tinggi menjadi salah satu skandal yang besar dalam tubuh demokrasi kita yang kemudian membawa demokrasi kita pada demokrasi kapitalistik.
Berangkat dari kondisi demikian diperlukan langkah konkret untuk mengembalikan nilai demokratisasi yang relevan dengan semangat reformasi. Upaya tersebut tentunya bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi kita harus melakukannya agar tidak salah arah. Oleh karena itu, dibutuhkan penunjuk arah menuju tatanan demokrasi yang berkeadaban, berkeadilan dan berkelanjutan.
Sehingga dibutuhkan langkah-langkah konkret dan transformatif yang dapat menghantarkan ke kondisi demikian. Ada dua langkah substansial yang hemat penulis akan menghantar kita pada tatanan demokrasi yang demikian dan tempat perlindungan dari ancaman regresi, yakni;
- Penegakkan supremasi hukum. Tegaknya supremasi hukum akan memberikan batasan yang jelas, sehingga kita bisa berjalan pada rel dan koridor yang tepat. Karena kalau kita tidak menaati koridor, maka ketika masa jabatan presiden diperpanjang atau ditambah satu periode, hal ini akan menjadi lokomotif bagi lembaga lain untuk melakukan hal serupa. Kendati demikian, karena tanpa adanya penegakkan hukum yang baik hanya akan menimbulkan penafsiran yang salah terhadap demokrasi. Fenomena mereka yang mempunyai hasrat pengakuan eksesif menjadi manusia super dengan gejalanya antara lain; merasa mampu menanggung risiko serta hasrat menggebu dalam perjuangan fenomenal agar mempunyai efek dramatis sehingga dirinya dianggap superior. Hal ini merupakan wujud nyata dari penafsiran hukum yang salah, sehingga selalu menganggap diri mampu dan hebat untuk memimpin sampai kapanpun dirinya merasa sudah tidak mampu. Sindrom demikian harus didikte dengan penegakkan hukum yang
- Penguatan niali-nilai demokrasi di lingkungan belajar, baik melalui aksi literasi demokrasi maupun praktiknya. Perguruan tinggi harus menjadi saluran pembentuk manusia yang demokratis bukan pemburu kuasa atau jabatan. Kekerdilan demokrasi di lingkungan yang menjadi sumber pengetahuan, tempat pengkaderan intelek dan rumah yang menciptakan manusia kritis, konstruktif, dan rensponsif serta pemikir yang terus menggugat untuk kehidupan yang lebih baik dapat melumpuhkan kehidupan demokrasi Lantaran demikian, karena kaum intelek organik kita terjebak dalam tataran demokrasi yang salah karena terjerat stigmatisasi garangnya kampus menyikapi setiap aksi mahasiswa.
Oleh karenanya, perguruan tinggi bukan hanyalah wadah yang menjadi penyedia teori semata tanpa adanya praxis dari teori yang di godok sebagai wahana perwujudan masyarakat yang adil dan sejahtera. Tetapi, keduanya harus berjalan setimbang, tanpa adanya upaya- upaya penghambat dari setiap aksi yang dilakukan oleh mahasiswanya sebagai representatif dari bentuk responsif terhadap situasi konkret hari ini.
Tanpa adanya suatu gebrakan nyata, demokrasi kita akan beranjak pada suatu masa kekelaman yang penuh krisis multidemensional. Oleh karena itu, tindakan konstruktif adalah sesuatu yang urgen dilakukan untuk mengembalikan demokrasi pada jalan demokrasi elektoral yang sesuai dengan amanat reformasi.
DAFTAR PUSTAKA
- Kristiadi, “Nalar Politik Pancaran Budi.” Kompas. JAKARTA, January 2022.
- Mallarangeng, Rizal. Dari Langit. Kumpulan Esai Tentang Manusia, Masyarakat, Dan Kekuasaan. Vol. 53,
- Pureklolon, Thomas Tokan. KOMUNIKASI POLITIK. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
- Samadhi, Willy Purna. BLOK POLITIK KESEJAHTERAAN: Merebut Kembali Demokrasi,