Revisi UU ITE 2024: Perbaikan atau Sekadar Tambal Sulam?

OPINI – Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan pada 2024 dianggap sebagai upaya penting untuk memperbaiki regulasi yang selama ini dianggap represif. Meski demikian, di balik perubahan yang tampak menjanjikan, masih terdapat sejumlah persoalan yang perlu mendapatkan perhatian serius.

UU ITE yang pertama kali disahkan pada 2008 bertujuan untuk mengatur kegiatan di dunia digital, melindungi data pribadi, serta memastikan transaksi elektronik berlangsung dengan aman. Namun, sejumlah pasal dalam undang-undang ini, terutama yang terkait dengan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, sering disalahgunakan untuk membungkam kritik dan mengkriminalisasi ekspresi yang seharusnya dilindungi. Revisi 2024 berupaya memperbaiki kelemahan ini dengan menekankan perlindungan kebebasan berekspresi dan mengurangi potensi kriminalisasi yang berlebihan.

Salah satu perubahan signifikan adalah penyempurnaan pasal-pasal terkait ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Pasal-pasal yang sebelumnya multitafsir kini diatur lebih jelas untuk menghindari penyalahgunaan yang bisa mengekang kebebasan berpendapat. Selain itu, revisi ini juga memasukkan ketentuan yang menyelaraskan dengan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru disahkan pada 2024, guna memberikan kepastian hukum terkait pengelolaan dan perlindungan data pribadi di dunia maya.

Namun demikian, meskipun ada perbaikan, revisi ini tak lepas dari kritik. Beberapa pihak, termasuk pengamat hukum dan masyarakat sipil, berpendapat bahwa perubahan yang dilakukan lebih bersifat tambal sulam daripada perbaikan substantif. Pasal-pasal yang mengatur ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, meskipun sudah lebih jelas, tetap rentan terhadap interpretasi yang bisa berujung pada kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah. Banyak yang khawatir, revisi ini justru menciptakan ruang baru bagi penyalahgunaan kekuasaan, terutama dalam merespons kritik terhadap pemerintah atau lembaga lain.

Selain itu, meskipun ada upaya untuk memperjelas perlindungan data pribadi, tantangan besar tetap ada dalam hal pengawasan dan penegakan hukum. Tanpa infrastruktur hukum yang memadai serta kemampuan aparat penegak hukum untuk menerapkan revisi ini secara efektif, regulasi yang baik di atas kertas berisiko tidak memberikan dampak yang signifikan.

Sebagian pihak berharap agar revisi UU ITE 2024 bukan hanya sekadar respons terhadap tekanan publik, melainkan benar-benar menjadi langkah maju dalam menciptakan ruang digital yang aman, adil, dan terbuka. Untuk itu, revisi ini harus disertai dengan implementasi yang transparan, pengawasan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, serta keselarasan dengan hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi, yang merupakan pilar demokrasi, harus tetap dijaga tanpa mengorbankan perlindungan hak individu.

Baca Juga:  Ayo Bergabung dengan Komunitas Squad untuk Dapatkan Hadiah Menarik!

Pada akhirnya, apakah revisi ini merupakan perbaikan nyata atau hanya sekadar tambal sulam, akan bergantung pada bagaimana regulasi ini diterapkan di lapangan dan sejauh mana masyarakat dapat berperan dalam mengawasi penerapannya.

1. Penegakan Hukum: Masih Rentan Penyalahgunaan

Meski revisi memberikan batasan yang lebih jelas terhadap pasal-pasal multitafsir seperti pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, implementasi di lapangan tetap menjadi tantangan besar. Selama ini, aparat penegak hukum kerap dituding menggunakan UU ITE untuk membungkam kritik. Tanpa adanya pembenahan dalam sistem hukum yang lebih komprehensif dan pengawasan yang ketat, potensi penyalahgunaan pasal-pasal dalam UU ITE tetap ada, meskipun aturan tersebut telah diperjelas.

2. Dekriminalisasi: Upaya Setengah Hati?

Revisi ini masih terlihat setengah hati, terutama dalam mendekriminalisasi pelanggaran yang bersifat privat, seperti pencemaran nama baik. Meskipun ancaman hukuman sudah diringankan, statusnya sebagai delik pidana tetap membuka ruang untuk kriminalisasi terhadap ekspresi yang sebenarnya bisa diselesaikan melalui mekanisme perdata atau mediasi.

- Iklan -

3. Kebebasan Berekspresi: Ancaman Belum Sepenuhnya Hilang

Meskipun revisi ini diklaim lebih menghormati hak asasi manusia, kebebasan berekspresi di ruang digital masih terancam. Pasal-pasal terkait ujaran kebencian dan berita bohong, meskipun telah diperjelas, tetap berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi kritik yang sah terhadap pemerintah atau pejabat publik.

4. Tantangan Sosial dan Literasi Digital

Revisi UU ITE saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi masyarakat digital Indonesia, seperti rendahnya literasi digital dan etika bermedia sosial. Masalah ini sering menjadi akar dari berbagai pelanggaran UU ITE, baik itu penyebaran hoaks, pencemaran nama baik, atau ujaran kebencian. Sayangnya, revisi ini tidak mencakup strategi holistik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menggunakan teknologi secara bijak.

5. Apakah Revisi Ini Sekadar Respons Politik?

Ada anggapan bahwa revisi ini lebih dipicu oleh tekanan politik dan sosial daripada komitmen pemerintah untuk benar-benar melindungi hak asasi manusia. Jika revisi ini hanya bersifat kosmetik tanpa langkah konkret untuk menjamin implementasi yang adil, manfaatnya tidak akan terasa signifikan bagi masyarakat.

Perbaikan atau Sekadar Tambal Sulam?

Revisi UU ITE 2024 memang memberikan secercah harapan bagi mereka yang selama ini merasa tercekik oleh pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE 2016. Revisi ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan perlindungan hak individu di era digital. Namun, apakah perubahan yang dilakukan cukup signifikan atau hanya sekadar perbaikan kosmetik?

Baca Juga:  Berantas Judi Online, Pemerintah Tetapkan Tiga Prioritas

Delik Formil dan Materil dalam UU ITE

Dalam hukum pidana, terdapat dua kategori delik: formil dan materil. Delik formil berfokus pada perbuatan itu sendiri, sementara delik materil menitikberatkan pada akibat dari perbuatan tersebut. Dalam konteks UU ITE, pasal-pasal yang mengatur distribusi konten asusila (delik formil) dan ujaran kebencian (delik materil) masing-masing memiliki fokus yang berbeda. Namun, kedua jenis delik ini masih menimbulkan masalah interpretasi yang perlu diatasi agar tidak disalahgunakan.

Landasan Filosofis dan Prinsip Dasar

UU ITE bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dalam dunia digital, melindungi hak-hak pengguna internet, serta menjaga proporsionalitas antara kebebasan berekspresi dan perlindungan individu. Revisi ini berfokus pada memperjelas pasal-pasal yang dianggap rawan penyalahgunaan, seperti pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.

Poin Positif dan Kritik Terhadap Revisi

Beberapa poin positif dalam revisi UU ITE 2024 antara lain adalah pengurangan ancaman hukuman untuk pelanggaran pencemaran nama baik, penguatan delik aduan absolut, serta diperkenalkannya mediasi sebagai langkah awal dalam penyelesaian sengketa digital. Namun, kritik utama tetap terkait dengan pendekatan pidana yang masih mendominasi, potensi penyalahgunaan yang belum sepenuhnya hilang, dan kurangnya pendekatan preventif seperti literasi digital.

Rekomendasi untuk Perbaikan UU ITE

  1. Dekriminalisasi Sengketa Privat: Kasus pencemaran nama baik harus sepenuhnya dialihkan ke jalur perdata untuk mengurangi kriminalisasi berlebihan.
  2. Peningkatan Literasi Digital: Program literasi digital harus menjadi prioritas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban di ruang digital.
  3. Pengawasan Independen: Diperlukan badan independen untuk mengawasi penerapan UU ITE agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh aparat hukum.
  4. Revisi Berkala dengan Partisipasi Publik: Evaluasi UU ITE secara berkala dengan melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan industri digital.
  5. Penegasan Hak Berpendapat: UU ITE harus memastikan kebebasan berekspresi tetap terjamin, termasuk kritik terhadap kebijakan pemerintah.

Kesimpulan

Revisi UU ITE 2024 merupakan langkah positif, namun masih jauh dari sempurna. Perbaikan substantif seperti dekriminalisasi kasus privat, perlindungan lebih kuat terhadap kebebasan berpendapat, dan pendekatan preventif melalui literasi digital harus menjadi fokus utama. Tanpa langkah-langkah ini, revisi ini berpotensi menjadi tambal sulam yang tidak mengatasi akar masalah yang ada dalam penerapan UU ITE.

Revisi ini harus menjadi momentum untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih aman, adil, dan bebas, dengan pendekatan yang inklusif, progresif, dan menghormati hak-hak dasar setiap individu.

Hengki Hutauruk

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU