Ricky pun mengisahkan sebuah cerita masa lalu saat ia masih remaja dan menyaksikan kiprah Evan Dimas bersama Timnas Indonesia U-19. “Sampai ada cerita, ada kakak kompleks namanya Kakak Jordan, kita dulu kan nonton Evan Dimas main U-19 dulu bagus-bagusnya, top-topnya itu. Jadi nonton itu, saya belum main bola (waktu itu), masih di Papua saja.”
“Kakak saya bilang, kamu harus berjuang. ‘Kau ni harus berjuang berusaha supaya suatu saat (saya) mau lihat kau main, karena kau harus main dengan Evan Dimas,’ begitu katanya,” cerita Ricky.
“Saya hanya tertawa-tertawa saja. Hanya bilang, ‘Ah tidak mungkin terlalu jauh.’ Tetapi dalam hati harus berkeinginan, harus tekad untuk (main bersama) Evan. Soalnya kan umur tidak beda jauh dengan Evan juga, jadi kenapa kan pasti bisa. Sampai sekarang rasa seperti gimana ya? Mau bilang mimpi juga sekarang itu lihat Evan juga masih macam ingat waktu momen itu kakak cerita,” ujar Ricky mengenang masa lalu.
Faktor Lingkungan
Ricky Kambuaya lahir dari keluarga yang sederhana. Ayahnya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Sorong. Sementara sang ibu adalah seorang pedagang. Ricky bercerita, sang ibu biasanya menjajakan dagangannya di pasar malam yang ada di sekitar kota Sorong.
“Ibu saya pedagang sering di pasar malam. Kalau bapak PNS di Sorong. Saya anak kedua dari empat bersaudara. Tiga laki satu perempuan,” jelasnya.
Ricky mengaku awal suka sepak bola karena faktor lingkungan. Apalagi, kota kelahirannya Sorong, Papua Barat, dikenal sangat mencintai sepak bola. Bahkan, legenda Persipura dan timnas Indonesia, Boaz Solossa dan Ortizan Solossa juga dilahirkan di Sorong.
“Di Papua suka main bola dengan gawang kecil dari pagi sampai sore dengan teman-teman kompleks (sebutan kampung di Papua), lalu mulai futsal sampai bola besar. Awalnya itu, tim di kampung kompleks namanya Worth It, karena sebelumnya belum banyak SSB (Sekolah Sepak Bola) di sana (Sorong) dibanding di Jayapura, tapi kalau sekarang sudah banyak.”
Ricky kemudian mengikuti seleksi tim PON Papua Barat lalu bergabung dan bertanding di PON 2016 Jabar. “Setelah itu, selesai PON saya balik, pelatih saya punya koneksi dengan pelatih kiper PSMP, Ari Kurniawan, dulu kiper Persiram (Raja Ampat). Seleksi terbuka di PSMP, lolos main di Liga 2. Terus dipanggil ke (PSS) Sleman ke Liga 1 waktu itu baru promosi sama coach Seto (Nurdiantoro). Setelah itu, coach Aji (Santoso) panggil ke Persebaya,” lanjutnya.
Ia pun berterima kasih kepada semua orang yang telah mendukung karier sepak bolanya. Ricky Kambuaya ingin dikenal sebagai legenda Timnas Indonesia dari Papua, seperti Boaz Solossa.
“Kalau sosok (paling berpengaruh) banyak di lingkungan saya, kakak-kakak saya, pelatih saya. Lalu kakak Boaz (Solossa) itu sudah pasti, dia insiprasi dan panutan, apalagi keluarga Solossa dari Sorong,” tambahnya. (*)