Rinjani, Mandalika dan Santiago

Aku bermimpi tentang ibu hampir setiap malam. Dia akan datang dengan pakaian sehari-hari. Dalam mimpi, aku akan membantunya memotong sayur, mencuci piring, atau menjemur baju-baju. Jika adegan terjadi di sore hari, maka dia akan menyeruput teh, mencicipi biskuit rasa kelapa, lalu kami mengobrol tentang ini-itu.

Mimpi itu akan mengabur, saat Suara Bariton mengetuk pintu. Sama seperti dulu, kemesraan kami juga hilang saat sore hari ketika Suara Bariton pulang.

Ibu bernama Rinjani, mungkin karena itu dia selalu sendiri. Hilir-mudik orang mendaki, tetapi tak ada yang pernah singgah lama. Dari jauh orang yang memandang Rinjani berdecak karena kagum, sesungguhnya ia hanyalah ilalang, bebatuan, dan awan-awan yang bosan menemui pergiliran musim.

Entah sejak kapan Suara Bariton itu mulai tidak tertarik kepada Rinjani. Mungkin sejak farjinya kering bekas operasi. Namun, aku seperti Lombok, dan tidak ada Lombok tanpa Rinjani.

Wanita itu mungkin tidak akan mecolok kalau seandainya aku tak bertemu dengannya tepat setelah aku bermimpi ganjil untuk pertama kali. Saat melek, celanaku basah oleh cairan beraroma khas. Itu bukan mimpi tentang Ibu. Aku lupa perempuan yang ada dalam mimpiku, tetapi aku jadi membayangkan kalau itu adalah dia.

Gelora mimpi itu tersisa untuk waktu yang lama dan darahku semakin berdesir saat menikmati senyum semringah pegawai baru yang ditunjukkannya. Kubayangkan dua gigi kelinci yang terlihat saat matanya menyipit karena tersenyum menyesap sisi kiri leherku.

Aku membaca papan nama di dadanya, Mandalika. Aku tak pernah bertemu seseorang bernama seperti itu. Serupa nama seorang putri kerajaan dalam kisah lama Suku Sasak. Mungkin ibunya atau ayahnya, terlalu terobsesi pada legenda.

Siapa juga orang tua yang mau memberi nama anak mereka dengan meniru nama orang yang mengancam disintegrasi kerajaan karena terlalu ayu. Kami sering dibacakan kisah itu saat pelajaran muatan lokal. Saat aku bertanya pada guruku kenapa di akhir cerita Putri Mandalika memilih bunuh diri terjun dari atas bukit dan hanyut ke laut, guruku bilang itulah kebijaksanaan.

“Apa kau butuh bantuan?” tanya Bu Mandalika memutus khayalanku.

- Iklan -

Sejujurnya, itu adalah kali pertamaku mengunjungi perpustakaan sekolah. Terpaksa, karena ada tugas meresensi buku. Mungkin dia gusar melihatku mondar-mandir di antara rak- rak yang berdebu.



“Saya butuh rekomendasi.”

Dia memberikan isyarat untuk mengikutinya. Dia mengecek katalog di komputer yang disediakan untuk pengunjung dan kemudian tersenyum lagi. Aku terus membebek di belakangnya. Kami berhenti di sebuah lorong antara dua rak. Jari-jari lentiknya menyusuri judul demi judul. Tak lama, dia memilih satu buku dan menyerahkannya kepadaku. Buku Paulo Coelho, Sang Alkemis.

Dua hari setelahnya, aku datang lagi untuk mengembalikan Sang Alkemis di hadapannya.

“Bagaimana buku ini menurutmu?” Dia berbicara padaku sembari mencatat data pengembalian buku.

“Bagus, Bu.”

Sejujurnya, buku itu terlalu berat—atau terlalu membosankan?—untuk seorang pembaca pemula, tetapi sesama anak remaja 16 tahun, Santiago telah mengajarkan banyak hal padaku. Baru membaca tiga halaman aku berhenti, melipat kertas untuk menandai batas, lalu menutup buku itu rapat-rapat.

Namun, karena aku ingin segera bertemu dengan Bu Mandalika, aku putuskan menamatkan buku itu. Karena sepertinya, tidak ada alasan terbaik bertemu dengannya selain Sang Alkemis.

“Semua orang harus mewujudkan legenda pribadinya, ‘kan? Apa kau sudah tahu legenda pribadi yang ingin kau raih?” Aku baru saja baligh tiga hari sebelumnya dan dia sudah menanyaiku tentang esensi hidup. Aku bukan penggembala seperti Santiago yang tiap malamnya memimpikan harta karun. Aku hanya anak sekolah biasa dan mimpi terindah yang bisa kuingat adalah mimpi tiga malam yang lalu saat gairah merayapiku.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU