Rinjani, Mandalika dan Santiago

*****

Pertemuan berkedok meminjam buku itu berlanjut. Selang dua hari di jam keluar main, aku akan mengunjungi perpustakaan. Sementara itu, aku tak pernah lagi bermimpi tentang Ibu. Entah yang mana penyebabnya, mimpi ganjil itu, pertemuanku dengan Bu Mandalika, atau kesibukanku bersama buku-buku. Suara Bariton juga jadi sunyi. Tak mengusik dan banyak mengganggu. Biasanya dia akan mengintai di balik pintu. Mungkin karena saban hari dia melihatku membaca, dia jadi lega.

“A-apa Ibu sudah menikah?” Suatu hari, aku mencoba memberanikan diri bertanya pada Bu Mandalika tentang sesuatu yang begitu menggangguku. Aku sudah sering menyengaja pulang terlambat, hanya untuk melihat apakah ada laki-laki yang akan menjemputnya. Kadang dari belakang, kuikuti taksi yang ditumpanginya, hanya untuk memastikan apakah di rumah ada laki-laki yang menyambutnya.

Dia terdiam sejenak. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?

“Sayangnya, belum. Apa kamu punya paman untuk dikenalkan ke saya?” Aku bertanya bukan untuk orang lain, tetapi untuk diri sendiri.

Dalam hati aku bersorak-sorai mendengar jawabannya, seperti ada letupan kembang api yang melompat keluar dari kepala. Aku ingin salto karena girang bukan main. Rasa suka pada perempuan yang lebih tua juga tetap rasa suka. Sepertinya, sensasinya tetap sama dengan kasmaran pada gadis sebaya.

Di sisi lain, aku takut dia terkena kutukan karena nama itu. Kata orang nama itu adalah doa. Di akhir cerita, Putri Mandalika terjun ke laut dan berubah menjadi nyale warna-warni.

“Kalau boleh tahu, kriteria pasangan Ibu seperti apa?”

“Kamu serius bertanya tentang kriteria? Aku sudah masuk fase telat nikah, aku hanya butuh yang membuat nyaman. Hanya itu. Lagi pula, apa pertanyaan ini tidak berlebihan kalau hanya untuk basa-basi?” Dia mengoceh sambil menstempel buku-buku yang baru masuk.

- Iklan -

“Apa saya termasuk yang bisa membuat Ibu nyaman?” tanyaku hati-hati. “Maksudnya?” Dia mendelik.

“Saya hanya butuh jawaban, apakah selama ini saya membuat Ibu nyaman?” Entah dari mana keberanian itu datang. Aku bahkan tak memperhitungkan siswa lain yang sedang duduk di kursi-kursi perpustakaan. Mereka pasti sedang pura-pura menunduk membaca buku sambil berusaha menguping pembicaraan.

Dia menghentikan aktivitasnya. Melepas stempel dan buku yang dipegangnya. Sorot matanya menajam. Dari sorot mata itulah aku menangkap pesona kematangan. Biasanya, aku akan melihat dia mengomeli anak-anak yang terlambat mengembalikan buku. Sorot mata itu angkuh. Persis seperti yang dimiliki oleh Ibu saat mengomeliku.

“Dengar, usiaku lebih dari dua kali lipat usiamu. Jangan main-main. Ini tidak lucu!” Dia beranjak, membawa buku-buku yang hendak diletakkan di rak. Aku mengikutinya lalu berdiri sejajar di balik rak tempatnya berdiri. Wajahnya yang memerah terlihat di balik buku-buku.

“Bu, saya tidak main-main. Saya tidak memusingkan usia. Bukankah Ibu bilang semua orang harus mewujudkan legenda pribadinya? Legenda pribadi saya adalah mendapatkan Ibu.”

“Anak sinting!”

***

Teman-temanku mengatakan aku tidak normal karena menyukai Bu Mandalika. Siapa peduli dengan dengung cibiran mereka. Aku tidak bisa memaksakan diri menyukai anak perempuan di kelas yang hanya bisa berdandan dan jaga ‘image’ saja. Pura-pura mondar- mandir untuk menarik perhatian, lalu ketika umpan masuk dalam pancingan, mereka malah jual mahal. Sangat kekanak-kanakan.

Memang apa salahnya? Bukankah cinta membuat semuanya jadi normal?

Suara Bariton sepertinya sudah mendengar desas-desus itu, mungkin dari guru Bimbingan Konsultasi yang ruangannya tak pernah kudatangi. Dia mulai lebih sering mengintai. Aku tahu dia kadang membuka pintu saat aku sudah memejamkan mata. Jangan-jangan, mimpi tentang Ibu tak pernah datang karena dia sering mengintai? Bukan karena mimpi ganjil, Bu Mandalika, atau buku-buku.

Aku tidak akan pernah lemah, tidak jika Bu Mandalika tiba-tiba tidak menjadi dingin. Suatu hari, Bu Mandalika membawa box berisi segala macam tetek-bengek yang biasa ada di meja kerjanya. Dia mengundurkan diri, dia memilih pergi.

Apa aku semenakutkan itu? Aku berlari menyusuri koridor untuk menyusulnya. Hari itu sedang hujan. Aku sampai di tengah lapangan hanya untuk melihat seorang laki-laki sudah memayunginya dengan payung kuning. Merangkul bahunya.

Seketika tumbuhku limbung. Seperti luruh bersama hujan yang mengalir ke got-got paling kotor. Aku biarkan tetes demi tetes merasakan kegamanganku. Lalu seseorang datang, memelukku. Itu Suara Bariton. Dia terus berbisik meminta maaf dan berkata akan menyelamatkanku. Minta maaf untuk apa? Menyelamatku dari apa? Setelah itu, dia menarik pergelangan tanganku yang penuh sayatan, menjauh dari hujan.

Esoknya, saat bangun di pagi hari dari tidur tanpa mimpi. Aku melihat Suara Bariton membakar buku-buku yang semula berjejer di meja belajarku.

Suara Bariton berkata, “Nanti kita beli buku yang baru.”


Sebuah karya cerpen berjudul ‘RINJANI, MANDALIKA, DAN SANTIAGO’ oleh Za’idatul Uyun Akrami.


Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU