Rintik Hujan Penyesalan

“Yak! Jangan ngagetin tau! Dasar!” Rio segera merapikan bajunya yang sempat berantakan itu. Sang pelaku hanya menunjukan cengiran tak bersalahnya.

“Hehe, maaf ya. Tapi, tumben kamu kok di belakang?” kata Davano yang merupakan sahabatnya Rio dari ketika mereka masih embrio sampai sekarang. Ya bisa di bilang kedua orang tuanya juga saling kenal.

“Atau kamu sedih karena itu?” kata Davano meyakinkan “Hm.” jawab Rio singkat.

“Oh, aku turut berduka cita ya.” sesal Davano dan segera memluk sahabatnya itu

“Kan udah 6 tahun yang lalu jadi sudah lah.” kata Rio maish menatap sendu sahabatnya itu.

“Hei, kamu kan ‘The Cold Prince’ kok sedih gitu sih?” kata Davano yang mencoba menghibur.

“Iyain dah. Yasudah yuk turun dah nyampe tuh.” kata Rio dengan meninggalkan sahabatnya di belakang.

“Hey! Yak! Woi! Tunggu!” Davano segera turun dari bus dan menyusul ‘The Cold Prince’ tersebut.

Seperti biasa, Rio setelah masuk ke sekolahnya. Ia langsung memasang muka datar atau muka dinginnya. Semua orang terkadang takut hanya untuk sekadar menatapnya. Namun, beda dengan yang permpuan. Mereka berteriak histeris karena sedingin apapun Rio, pasti akan terlihat memesona dimata mereka.

- Iklan -

Rio tak pernah memperdulikan teriakan histeris mereka. Jadi Rio hanya menganggap mereka itu angin lalu. Rio segera menuju kelasnya dan sang sahabat konyolnya pun datang dengan terengah engah.

“H-hey, kamu kok h-hah cepet ba-banget sih?!” Kesal Davano atau sering dipanggil monyet karena tingkah lakunya itu terengah-engah karena sudah tertinggal jauh sebelumnya.

“Ya salah mu terlalu lambat sih.” Kata Rio dengan menunjukan cengiran khasnya yang tak bersalah itu.

“Dah lah, ayo masuk bentar lagi bel.” Ajak Rio dan langsung menuju tempat favoritnya kalau dikelas. Tempat duduk paling pojok dekat dengan jendela itu.

*Skip*

*Kriiing*

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU