Aku sedang mengerjakan beberapa berkas dari dokter yang tidak masuk hari ini. Huft melelahkan sekali. Aku sekedar berhenti sebentar dan meminum kopi ku. Namun, aku mendengar suara pintu terbuka. Rio datang dengan wajahnya pucat pasi seperti mayat berjalan dan kemudia ia pingsan seketika.
Akupun segera membopong tubuhnya ke kamar di ruang kerjaku. Ya itu juga bisa dibilang kamar rumah sakit yang paling mewah dan hanya keluarga Mr. Adinawa saja yang bisa menggunakannya. Aku segera menurunkan tubuhnya pelan pelan ke kasur tersebut. Aku masih sedikit terkejut dengan apa yang aku lihat tadi.
Namun ya bagaimana lagi. Tugasku juga harus aku kerjakan jadi aku kembali ke meja kerjaku dan membawa berkas berkas nya ke kamar dan duduk di salah satu sofa merah dan menaruh semua berkas berkas di meja kayu yang terlihat elegan itu.
“Ugh.” Rio mulai terbangun dari pingsannya. Aku segera mengahampirinya dan menanyakan keadaanya.
“Rio-ah, kau tak apa? Wajahmu pucat sekali.” kataku sambil menaruh nampan berisi makanan di meja sebelah kasur.
“Ah aku tak apa. Hanya saja aku ingin bilang kalau-” Rio mengatakannya sambil menatapku sendu.
`Rio POV`
‘apa aku harus bilang atau tidak ya?’ Aku mulai bimbang dan sedikit bingung. Namun ketika aku ingin mengatakannya, darah mengalir dengan deras Devin terkejut dan segera berlari membawa tisu dan membantuku menghilangkan darah yang ada di hidungku.
“Kamu sekarang duduk tegak dan jangan bergerak. Dan jangan mendongak, Aku akan membantumu.” kata Devin atau dokter pribadiku yang sudah merawatu sejak kecil hingga sekarang.
Lalu aku segera menuruti apa kata Devin dan menunggu hingga mimisan ku telah hilang. “Kamu kenapa kok bisa begini hm?” kata Devin kepada ku.
“Aku tau jika aku punya penyakit leukemia. Tetapi sejak kemarin aku mimisan kayak gini.
Trus lalu aku sering merasakan pusing yang hebat dan lumayan lama untuk menghilangkannya. Aku takut Devin.” kata Rio ketakutan.
“Baiklah ayo kita ambil sampel darahmu dulu. Baru cari tau apa yang terjadi.” kata Devin sambil mengarahkanku ke lab dimana ia mengambil sampel darah.
Namun ketika kami mau ke lab, kami tidak mengetahui bahwa ada yang melihat kami dari jauh sana. Ia sedikit curiga dan ingin mengikuti kami.
“Apa yang terjadi? Aku harus mengikutinya.” ucap seseorang dan mengikuti Rio serta Devin.
Sesampainya di lab Devin mulai mengambil sampel darahku dan memulai mengeceknya sambil berharap tidak ada yang terjadi sesuatu denganku. Namun harapannya pupus sudah setelah melihat hasil yang ada di kertas tersebut.
Setelah kira kira 2 jam kemudian Devin keluar dengan muka sembab dan mata yang sedikit bengkak karena habis menangis.
“Ba-bagaimana Devin? Aku tidak sakit apapun kan?” kataku dengan mata yang sedikit berkaca kaca.
“Aku akan menyembuhkanmu Rio-ah. Ak-aku akan.” kata Devin masih sedikit terisak. “Ada apa k-kak Devin?” Aku mulai ketakutan akan penyakit yang baru saja aku pelajari ini
terjadi kepadaku.
“Kamu penyakitmu LEUKEMIA sudah berada di stadium akhir.” kata Devin sehingga ia mulai menangis lagi.
“Tidak mungkin hiks, aku tidak mungkin, aku tid-.” semua berubah menjadi gelap lagi.
`Devin POV`
“Rio!” kataku panik. Tetapi selama ini kami tidak berdua. Masih ada satu orang lagi yang mengintip ku dan Rio dari celah pintu. Melihat Rio yang pingsan ia langsung masuk dan memeluknya.