Rupiah Masih Tertekan, Waspada Resesi Ekonomi Akhir 2022!

Nilai tukar semakin mengalami tekanan berat. Sejak beberapa hari lalu, Rupiah dikabarkan masih bertengger pada level Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat. Meski belum turun dari angkat tersebut, Yoga Affandi, Kepala Bank Indonesia (BI) Institute melihat situasi ini tidak begitu mengkhawatirkan. Rupiah bahkan dianggap masih dalam level yang stabil, sebab pelemahan yang terjadi tidak begitu besar.

“Nilai tukar rupiah relatif stabil, meskipun ketidakpastian baru-baru ini datang dari pasar global, tetapi kita dapat melihat di sini bahwa kita berhasil mengelola stabilitas eksternal dan mengatasi ketidakpastian yang meningkat,” ujarnya dalam diskusi bertema ‘Central Bank Policy Mix for Stability and Economic Recovery’ di Bali Nusa Dua Convention Center, Rabu (13/7/2022).

Diskusi tersebut, adalah rangkaian Pertemuan ketiga Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) dan Finance Central Bank Deputies Meeting (FCBD). Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan beberapa hari lalu dengan menguat sebanyak 0,1% ke Rp 14.970/US$. Kemudian, rupiah stagnan di Rp 14.985/US$ hingga pukul 11:00 WIB saat itu.

Menurut Yoga ada sederet ketidakpastian yang mampu menekan rupiah lebih lanjut. Terbesar adalah kemungkinan terjadinya resesi dunia yang diramalkan banyak pihak. Akan tetapi, Indonesia sudah memiliki modal yang kuat dalam mengantisipasi persoalan tersebut. “Kita dapat melihat bahwa ketidakpastian baru-baru ini telah memberikan tekanan pada stabilitas eksternal sehingga dapat menimbulkan tantangan,” jelasnya.

Modal yang dimaksud antara lain prospek ekonomi Indonesia yang terus tumbuh pasca pandemi sehingga menjadi persepsi positif bagi investor. Pulihnya ekonomi ditopang oleh neraca perdagangan yang surplus dalam 25 bulan terakhir imbas lonjakan harga komoditas internasiional.

Ketergantungan Indonesia akan modal asing juga kini lebih sedikit. Terlihat dari kepemilikan asing dalam surat berharga negara (SBN) yang kini cuma tersisa 16%, padahal sebelumnya 30%. “Itu telah mengurangi kerentanan kemampuan asing terhadap sektor eksternal kita,” katanya.

Baca Juga:  Tips Mencicil Mobil untuk Pemula, Perhatikan Aspek Ini

Likuiditas valuta asing di pasar juga terbilang cukup, sehingga mekanisme pasar sejauh ini dapat berjalan dengan baik. Cadangan devisa per Juni berada di US$136,4 miliar yang naik US$ 0,8 miliar ketimbang bulan sebelumnya di US$ 135,6 miliar. “Peran cadangan devisa dapat menyangga guncangan dan mengurangi tekanan keuangan,” ucapnya.

Meski demikian, tetap harus waspada. Seperti diprediksikan banyak pihak, Resesi akan datang Lagi di 2023. Rupiah Bisa tembus Rp16.000 per Dolar AS. Dilansir dari Bisnis.com, Bayang-bayang resesi semakin jelas dengan adanya pernyataan Presiden Rusia Vladimir Putin yang memperingatkan bahwa tekanan sanksi akan memicu ‘perang energi’.

Artinya, harga komoditas energi dan pangan akan terangkat lebih tinggi. Hal ini akan membawa tekanan inflasi pada banyak negara di dunia. Jika kondisi geopolitik ini berlangsung lama, maka dunia diperkirakan akan jatuh ke dalam resesi di akhir 2022 hingga 2023. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan secara global indikasi resesi seperti dekade 1970an, ditunjukkan oleh eskalasi perang, gangguan pada sisi pasokan, inflasi tinggi, dan pelambatan ekonomi di negara maju serta kenaikan suku bunga yang agresif.

- Iklan -

Semua indikasi tersebut terbaca jelas saat ini dalam kondisi ekonomi global.”Bisa dikatakan resesinya akan panjang butuh 3-5 tahun untuk recover apalagi belum ada kejelasan kapan perang rusia-ukraina akan berakhir,” ujarnya. Pasar dan investor di negara maju, terutama Amerika Serikat, saat ini.

Sinyal terbesar datang dari IMF. Managing Director International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva bahwa proyeksi ekonomi global gelap secara signifikan sejak April.
Dia tidak bisa mengesampingkan kemungkinan resesi global tahun depan mengingat risiko yang tinggi. Nomura Holdings Inc pun telah menyebutkan negara-negara yang kemungkinan jatuh ke zona resesi, yaitu Eurozone, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Kanada, Australia dan AS.

Baca Juga:  Tips Mencicil Mobil untuk Pemula, Perhatikan Aspek Ini

“Tanda-tanda meningkat bahwa ekonomi dunia memasuki perlambatan pertumbuhan secara bersamaan,” tulis Nomura. Nomura menambahkan banyak negara tidak akan mampu menyandarkan diri pada ekspor untuk tumbuh. “Ini membuat kami memperkirakan adanya resesi berkelanjutan.”

Lebih lanjut, Bhima menuturkan bahwa dampak resesi yang bisa berkepanjangan (long recession) ini akan menekan nilai tukar rupiah. “Proyeksinya menyentuh 16.000 pada akhir tahun ini,” ungkapnya Bhima. Adapun, inflasi pangan dan energi terus mendorong terjadinya stagflasi karena kenaikan harga tidak dibarengi dengan naiknya kesempatan kerja. PMI Manufaktur kembali alami kontraksi dibawah level 50 karena naiknya biaya bahan baku dan perlambatan konsumsi domestik maupun permintaan ekspor.

“Suku bunga yang naik secara agresif menghambat laju penyaluran kredit perbankan,” paparnya. Bhima pun mengingatkan agar Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melakukan stress test terhadap perbankan, asuransi dan lembaga keuangan lainnya, terutama berkaitan dengan dampak resesi di AS, keluarnya modal asing, dan kenaikan suku bunga yang eksesif.

Seperti diketahui, Fed Fund Rate naik lebih dari empat kali setahun Dia juga berharap Bank Indonesia (BI) segera naikkan suku bunga 50 basis poin (bps). “Ini sebagai langkah pre-emptives hadapi tekanan inflasi dan fluktuasi kurs di semester II/2022,” tegasnya.

BI juga harus menambah negara mitra local currency settlement (LCS) dan beri insentif lebih besar bagi pelaku usaha ekspor agar menukar devisa dolar dengan rupiah Kemudian, pemerintah harus memperbaiki jaring pengaman sistem keuangan terutama skenario ‘bail in’. Selain itu, pemerintah diharapkan meningkatkan serapan investor domestik dalam SBN untuk cegah volatilitas akibat keluarnya investor asing di pasar obligasi. (dari berbagaisumber/ana)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU