Namaku Sonya, tapi aku biasa dipanggil Miss Cemas julukan yang orang – orang berikan kepadaku bukan tanpa alasan pastinya. Aku punya dua anak yang masih balita dan seorang suami yang baik.
Tidak ada yang salah semestinya dengan kehidupanku tapi hal ini terjadi tak terasa sudah satu tahun lamanya. Semenjak aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku yang menurut kepala bagianku aku cukup berkinerja baik dan ketika dipromosikan aku malah memilih keluar dengan pertimbangan hamil anak ketiga.
Ada sedikit penyesalan namun tak banyak karena aku terbiasa keluar masuk pekerjaan dan keluar dari pekerjaan justru saat sedang naik jabatan. Aneh.
Kehidupanku menjadi Ibu Rumah Tangga yang menurutku sangat mudah ternyata tidak sesuai bayanganku sampai selang beberapa bulan mulailah banyak negara yang terjangkit pandemi yang membuat perasaanku campur aduk. Takut, cemas, sedih, gundah dan waspada yang bercampur aduk di dalam hati kecilku yang memaksa fisik dan pikiranku untuk menerima kenyataan pahit.
Aku seorang yang dikenal sangat aktif dan pekerja keras akhirnya memaksaku menjadi seorang ibu rumah tangga dirumah saja dan membatasi pergerakan sosialku. Awalnya aku menjalaninya dengan baik.
Sampai kudengar ada tetangga, saudara dan sahutan toa-toa masjid yang terdengar memberitakan korban-korban pandemi ini, suatu hal yang tidak ingin kudengar dan kuhindari sehingga membuatku sangat takut dan cemas.
Cemas ini bukan terhadap satu faktor saja tapi beberapa faktor yang menjanggal membuatku sangat memikirkan dan membuat pikiran-pikiran negatif. Aku pun terbelenggu. Tiap hari aku merasakan sakit badan entah pusing, sakit gigi, nyeri otot, sesak dada, asam lambung dan sebagainya.
Keluhan ini datang hampir tiap hari dan memaksaku datang ke dokter setiap tiga kali seminggu dengan dokter yang berbeda. Entah aku gila atau bagaimana semua hasil pemeriksaan yang aku jalani menunjukan kondisi yang normal bahkan cukup terkendali.
Beberapa dokter menyarankan aku untuk pergi ke psikiater atau terus berdoa mendekatkan diri pada Sang Pencipta mudah memang tapi menjadi sulit untuk dilakukan.
Dokter bilang aku terkena entah apa itu namanya Anxiety, Pannic Attack, Psikosomatis entahlah tapi sangat mengganggu. Bahkan terkadang aku mendiagnosis sendiri penyakit yang datang kepadaku dengan menjadikan Mbah Google sebagai bahan referensi karena rasa segan untuk pergi ke dokter yang sama dengan alasan yang berbeda. Setiap aku terbangun pagi penglihatanku terlihat samar dan aku tidak bisa membedakan apakah dunia nyata atau mimpi ketika terbangun.
Entah sudah biru atau merah tanganku yang selalu kucubit untuk membuatku tersadar. Suara kicau burung sangat menggangguku. Suara cicak di malam hari mengusikku.
Suara-suara yang terdengar berulang-ulang membuat otakku mengirim pesan ke seluruh bagian tubuhku dan tanpa sadar membuat aku terjaga sampai pagi. Aku jadi percaya akan mitos yang tidak pernah terbukti kebenarannya.
Saat pergi kesuatu tempat ramai aku merasa sebentar lagi akan pingsan atau pikiran- pikiran negatif lainnya yang aku buat dan menghantui diriku sendiri. Iya! Pikiran itu aku ciptakan sendiri untuk menakutiku sendiri? Bagaimana aku bisa menjalani hidup dan beraktifitas dengan normal selayaknya orang biasa.
Aku jadi iri dengan orang lain yang tidak memiliki apa-apa tapi mereka bahagia. Berbeda sekali dengan aku. Harusnya aku malah lebih bersyukur. Entah kerasukan apa diriku. Akupun berusaha membaca-baca doa yang aku hapal untuk meminta perlindungan. Aku tahu Tuhan tidak tidur.
Tiap malam datang aku selalu takut. Takut esok aku terbangun di tempat lain. Ya memang kuakui pandemi yang menghantui dan pekerjaan dirumah saja ini membuat pergerakanku terbatas dan mungkin kebosananku melambung tinggi menjadikanku takut mati.
Aku takut bertemu teman-teman karena aku yang mereka kenal dulu adalah SuperMom yang bisa menjalankan dua peran sebagai ibu dan wanita kariernya sukses. Aku terlalu sibuk memikirkan diri sendiri kesehatanku, kebahagiaanku, emosiku. Sampai aku lupa tugas utamaku.
Suatu ketika anakku menjadi anak yang sangat pembangkang suka berkata kasar ,suka memukul dan suka membanting barang. Aku dan suami tidak pernah mencontohkan. Awalnya emosiku meningkat dan semakin tidak karuan nya tubuh dan pikiran ini.
Sangat Kacau. Aku sering berpikir aku akan menjadi gila dan masuk pusat rehabilitasi. Sampai suatu hari si kecil menyadarkanku.
Ia jatuh dan terluka ketika ingin menggapai betisku ketika ia hendak belajar berjalan. Aku melamun, menangis tanpa suara. Aku perhatikan anak-anakku satu per satu. Anak-anak tanpa dosa yang kehilangan kasih sayang ibunya yang terlalu cemas memikirkan diri sendiri.
Sungguh aku sangat sibuk dan melewati masa masa keemasan anak-anakku. Aku merasa berdosa menelantarkan mereka. Segera aku terbangun dari lamunanku yang amat panjang dan terasa nyata. Aku peluk mereka dan minta maaf.
Sehingga akan tertanam dibenak mereka bahwa mereka dialiri kasih sayang tidak hanya ayah tapi ibu mereka dan aku tidak akan melewatkan kesempatan ini.
Penulis : Atika Ayuningtyas