Sadewo dan Ramadi saling pandang tak mengerti.
***
Sadewo masih mematut dirinya di depan cermin rias setelah selesai berbicara dengan Mas Indra. Ia terus memandangi penampilannya hari ini secara detail dari atas hingga bawah.
Mulai dari topi irah-irahan berwarna putih yang memiliki ekor di bagian belakangnya, topeng cangkeman dan kostum serba putih lengkap dengan ornamen lainnya seperti aksesoris berupa kalung bermotif bunga yang menggunakan payet, aksesoris bulu-bulu putih di bagian dada;
Aksesoris berwarna emas di bagian lengan, sabuk ikat berwarna hitam dan emas, selendang berwarna merah, kain poleng motif kotak-kotak berwarna hitam dan putih, aksesoris lonceng kecil di bagian pergelangan kaki dan yang terakhir ekor bulu putih panjangnya.
Ia tersenyum simpul setelah selesai memandangi dirinya. Walaupun tampilannya persis seperti kera putih, namun ia sangat menyukai tampilannya tersebut.
Sebenarnya hari ini adalah hari yang telah ditunggu-tunggu oleh Sadewo. Setelah sekian lama berlatih tari Kethek Ogleng bersama teman-temannya di sanggar tari, akhirnya ia bisa tampil menghibur banyak orang di kantor bupati.
Kabarnya jika pertunjukan kali ini berhasil, maka Bupati Pacitan akan mengajukan tarian Kethek Ogleng kepada Presiden agar dapat ditampilkan untuk memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang tak lama lagi akan segera tiba.
“Aku sudah membayangkan bagaimana aku menari dengan lincah dan atraktif. Ditambah dengan aksi akrobatik yang akan aku lakukan bersama teman-teman. Aku juga sudah membayangkan betapa senangnya Bapak Bupati melihat pertunjukan kami.
Dan kami akan dikirim ke Istana Negara untuk melakukan pertunjukan yang lebih hebat lagi yang akan disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pasti ibuku juga akan bangga sekali melihatnya. Namun, semuanya pupus sudah.” Sadewo menunduk. Ia tak ingin lagi melihat pantulan dirinya di cermin.
“Ini semua gara-gara lelaki tua itu!” jerit Sadewo dalam hati. Tak kuasa ia menghadapi kenyataan pahit yang sedang dihadapinya.
***
“Kau itu bisa tidak sih mengurus anakmu? Nilai macam apa ini, hah?” bentak Pak Tuo sambil melemparkan kertas-kertas ulangan ke meja tepat di hadapan Bu Minten. Bu Minten pun sedikit tersentak dengan tindakan Pak Tuo tersebut.
“Mohon maaf, Pak. Nanti saya akan coba menasihati Sadewo agar lebih rajin belajar lagi,” jawab Bu Minten lirih.
“Percuma saja saya membiayai sekolah anakmu, kalau hasilnya hancur seperti ini. Saya tidak mau tahu, pokoknya bulan depan nilai-nilai pelajaran Sadewo harus jauh lebih baik dari ini. Kalau tidak, saya akan berhenti membiayai sekolah anakmu itu!” tegas Pak Tuo.
“Ya sudah, silakan saja kalau Bapak mau berhenti membiayai sekolah saya!” Suara keras Sadewo dari depan pintu mengagetkan Pak Tuo dan Bu Minten.
“Saya juga sudah tidak tahan kalau Ibu saya selalu dihina-hina oleh Bapak, hanya karena masalah nilai pelajaran saya yang kurang bagus,” lanjut Sadewo dengan emosi yang sudah tidak dapat dibendung lagi.
“Astaghfirullah, Le. Jangan bicara seperti itu kepada Pak Tuo!” cegah Bu Minten.
“Biar saja, Bu. Aku tidak terima kalau Ibu diperlakukan semena-mena terus oleh bapak ini. Walaupun dia telah memberikan aku beasiswa, tetapi tidak begini caranya, Bu,” tolak Sadewo pada ibunya.
“Oh, baik, kalau begitu akan saya penuhi keinginanmu. Saya juga tidak butuh anak bodoh sepertimu yang tidak bisa saya banggakan kepada rekan-rekan saya. Sana kau rasakan susahnya mencari uang untuk biaya sekolahmu. Dasar kau anak tidak tahu diuntung!” umpat Pak Tuo.
Terpancar kemarahan yang luar biasa dari sorot mata Sadewo. Satu tangannya dikepal seakan-akan siap untuk melayangkan pukulan tinju kepada lelaki tua yang baru saja menghinanya. Namun, ia lihat ibunya sudah tak kuasa menahan tangis. Sadewo pun urung melakukannya. Ia tak mau memperpanjang masalah lagi.