Sang Pemburu

Jika kaum bumiputra hanya dapat duduk di bawah terik matahari yang seakan bersiap memanggang mereka maka Johannes dan Abraham sangat beruntung. Berada di sebuah panggung beratap rumbia, mereka berdua bisa menikmati pertunjukkan dengan nyaman. Tak banyak orang kulit putih yang berada di panggung. Hanya delapan orang termasuk Johannes dan Abraham.

“Katakan, aku masih tak mengerti hal apa yang inginkau tunjukkan di sini? Aku berani bersumpah, bersama kaum kita adalah hal terbaik saat ini.”

“Nah, itu dia!”

Kedua mata Abraham mengikuti telunjuk Johannes yang tertuju ke lapangan. Ia berdiri. Saat itu juga, dada Abraham bergemuruh hebat. Dilihatnya delapan kandang kayu berisi harimau. Pikirannya menjadi tumpul.

“Biasanya rampogan hanya diadakan untuk menyambut tamu penting atau menyambut perayaan hari besar agama orang-orang bumiputra. Namun, kita berhasil membujuk mereka untuk mengadakan rampogan demi memperingati hari kelahiran Ratu Wilhelmina.” Johannes yang duduk di sebelah Abraham memberitahu dengan wajah berseri. “Lihatlah, orang-orang itu tampak sangat senang,” lanjutnya.

“Ram … pogan?”

“Iya, Abraham. Dan kenapa wajahmu terlihat terkejut seperti itu? Jangan bilang jika kau baru pertama kali melihatnya.”

Abraham mendaratkan tubuhnya kembali ke kursi diliputi perasaan tak menentu. Untuk kali ini, ia mengumpat dirinya sendiri karena bersedia menerima ajakan Johannes. Andai ia tahu hiburan apa yang hendak disaksikannya, tentu ia akan menolak dengan tegas. Namun semuanya sudah terlambat.

“Sudah lama aku tak ke alun-alun untuk menyaksikan rampogan, Johannes.” Abraham berusaha menahan marah yang membakar sekujur tubuhnya.

- Iklan -

Johannes menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan kata-kata yang diucapkan sahabatnya itu. Ia bahkan mengira Abraham sedang bercanda.

Harimau mengaum terdengar keras. Delapan kandang telah diletakkan di tengah-tengah. Bersiap untuk dibuka. Sementara sekelompok orang menyebar di tepi sembari memegang tombak. Tak ketinggalan sorak sorai para pengunjung memenuhi alun-alun.

Tak mau ketinggalan dengan orang-orang di bawah mereka, orang-orang kulit putih di panggung pun bertepuk tangan meriah kecuali Abraham. Ia terdiam. Matanya terkunci ke sebuah sudut. Tak sanggup melihat pertunjukkan yang sebentar lagi dimulai, Abraham memutuskan untuk berlalu. Tak dihiraukannya panggilan dari Johannes.

Abraham menjauhi panggung–tempat ia duduk tadi–menuju pinggir alun-alun. Pilihannya jatuh kepada seorang penjual minuman. Abraham beringsut mendekatinya. Si penjual lekas menyodorkan minuman dalam batok kelapa.

Tanpa pikir panjang Abraham langsung menandaskannya. Meskipun sebenarnya ia tak begitu haus.

“Semua orang sedang menonton rampogan tetapi Meneer justru kemari. Apa Meneer tidak menyukai rampogan?”

Sejenak, Abraham terpana dengan pertanyaan si penjual minuman. Kemudian, ia tersenyum hambar. Sekelebat bayangan melintas di pikirannya. Sebuah peristiwa yang bisa jadi akan diingat seumur hidupnya.

“Katakan orang bumiputra, dari mana mereka mendapatkan harimau-harimau itu?” Abraham bertanya balik. Mencoba mengalihkan pembicaraan.

Penjual minuman itu tak langsung menjawab. Lalu, ia menggeleng. Namun, tatapan tajam yang diberikan Abraham kepadanya membuat ia tergeragap.

“Bi … sa ja … di mereka mendapatkannya dari hutan, Meneer. Sejak kaum Meneer berdatangan ke tempat ini, mereka banyak membuka perkebunan. Mereka merambah hutan untuk dijadikan perkebunan dan tempat tinggal.”

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU