Sang Pemburu

Seketika ingatan Abraham terlempar ke beberapa tahun lalu. Saat pertama kalinya ia bekerja di sebuah perkebunan di Yogyakarta. Dari cerita sesama rekannya, ia mengetahui jika pernah pada suatu masa, gubernemen memang sedang gencar-gencarnya membuka perkebunan baru untuk ditanami tanaman yang memiliki nilai jual tinggi di Eropa seperti kopi dan tebu.

Sesudah memberikan uang kepada si penjual, Abraham bersigegas kembali ke tempatnya. Namun, belum sempat ia mencapai panggung beratap rumbia yang ia tuju, langkahnya terhenti.

Kaum bumiputra yang memenuhi pinggir alun-alun tampak senang. Mereka kembali bersorak- sorai. Sementara Abraham memutuskan untuk mendekat. Diabaikannya tatapan

orang-orang sekitar yang menatapnya dengan heran. Abraham merangsek ke depan. Untuk beberapa saat, ia tercengang. Matanya berkaca-kaca.

Seekor harimau terkulai di tanah dengan tubuh hampir dipenuhi tombak. Hewan itu mencoba menggerakkan tubuhnya tetapi tak bisa. Tubuhnya terlalu lemah . Sedikit demi sedikit, matanya mulai menutup.

Tak sanggup menyaksikan pemandangan yang baru saja dilihatnya, Abraham membalikkan badan. Bermaksud kembali ke panggung.

“Dari mana kamu? Baru saja kamu melewatkan hal paling menarik dari rampogan ini. Lihatlah, Cakara, harimau ganas itu telah mati. Padahal ia didatangkan langsung dari Yogyakarta. Kudengar juga, para pemburu menangkapnya seusai banyak orang yang menjadi korban saat pembukaan lahan untuk pertanian. Ada dua harimau, Cakara dan …. ”

“Cakara dan Aswini,” sahut Abraham datar.

Johannes mengangguk sambil mengiakan. Tanpa disadari lelaki itu jika hati Abraham sedang berkecamuk setelah melihat Cakara.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU