Gemuruh lirih menghampiri malamku yang sunyi. Rembulan bersembunyi murung dibalik awan hitam, semakin menambah gelap bumi tua ini. Kilat menyambar dari kanan ke kiri dari barat ke timur bak menunjukkan kemarahannya pada sang alam.
Malam semakin riuh dengan kabut dingin, jalanan mulai sepi, gelisah mulai menghampiri, malam-malam begini aku masih sendiri menyusuri jalan, selepas salah satu kegiatan yang aku ikuti. Teman- temanku sudah menunggu di penjara suci, beberapa menit lagi gerbang akan ditutup.
Namaku Marwa, gadis 21 tahun yang teramat jatuh cinta pada butir-butir hujan. Aku selalu menantikan peristiwa terbaik Tuhan, yakni pelangi. Pelangi, romantisme warnanya ibarat hati yang berbunga-bunga, yang memandangnya membuat mata terpana hingga masuk dalam jauh ke sukma.
Aku adalah salah satu dari orang yang paling beruntung, tak semua remaja seusiaku dapat menikmati bangku kuliah, namun Tuhan masih sangat berbaik hati memberiku kesempatan menikmati nano-nano berteman dengan teman-teman yang berbeda suku bangsa dan negara, masa-masa kuliah yang tak seindah di FTV, ngerjain tugas sampai subuh, dan tentunya menikmati romansa damai berada dalam lingkungan pesantren.
Berbicara tentang pesantren, pesantrenku bisa dibilang modern, tak ada aturan yang menyebutkan tidak boleh membawa handphone atau alat komunikasi lain, ini karena hampir seluruh santri adalah mahasiswa yang tidak terlepas dari riuhnya gadget masa kini.
Seperti biasa aku selalu aktif berbincang ria bersama teman-teman santri lain di grup angkatanku, selalu ada saja pembahasan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dibicarakan.
Suatu hari, saat diri tengah terlena dalam heningnya bunga tidur yang ku sebut mimpi bersama dinginnya lambaian angin malam yang meniup ke sana kemari dan tiba-tiba ponselku berbunyi, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, tanda tahajud ingin lantas ditemui.
Aku langsung terbangun, bukan langsung pergi ke kamar mandi tapi aku terlebih dahulu mengecek ponsel sambil berbaring malas menghadapkan tubuh ke arah kiri. Ku lihat ada panggilan tak terjawab dari nomor baru yang tak ku kenali, tepatnya pukul 02.50 dan sekarang adalah pukul 03.45, kurang lebih satu jam yang lalu.
Hatiku mulai bertanya, siapa yang menelfonku di sela-sela menuju fajar begini ? aku lantas mengirim pesan kepada nomor misterius itu untuk menanyakan siapa pemilik nomor itu. Lalu ku langkahkan kaki untuk pergi mandi di tengah dinginnya Bandung di detik-detik seperti ini.
Cukup lima menit aku mampu bertahan di kamar mandi, tak ingin berlama-lama bersama guyuran lirih yang mungkin membisingkan teman-temanku yang tengah merajut bunga-bunga mimpi.
Seperti biasa aku langsung membangunkan teman-teman yang lain untuk bergegas menjemput subuhnya. Bukan karena aku rajin, tapi ada beberapa alasan yang mungkin tidak ingin aku sebutkan, seperti karena telah menjadi kewajibanku sebagai keamanan, karena ingin memaksa diriku untuk melawan sulitnya beradu dengan godaan subuh, dan alasan tidak ingin ketinggalan dua rakaat sebelum subuh.
Aah apa-apan aku ini segalanya masih terpaksa, bukan tanpa alasan lain karena memang selalu saja ada rasa malas yang menghampiri di penghujung subuhku ini.
Setelah pulang mengaji, aku dan teman-teman lain masih bermanjaan di tempat tidur yang sungguh memberi kehangatan dari dinginnya Bandung. Kadang kita hanya tidur-tiduran sembari menikmati shalawatan dan lama-lama ketiduran juga.
Ku cek lagi ponselku ternyata ada balasan dari nomor yang menelfonku tadi. Dia menjawab bahwa dia adalah perantara malaikat subuh yang ingin membangunkanku. Aku tidak terlalu merisaukan hal itu.
Semenjak hari itu, ada yang berbeda dari setiap fajarku, nomor yang tak ku kenali kemarin selalu menelfon tepat di detik-detik seorang hamba menyampaikan kerinduannya pada Tuhannya. Bukan sekedar menelfon tetapi begitu banyak kata-kata yang tak ku dapatkan dari siapapun sebelumnya.