FAJARPENDIDIKAN.co.id – “Kita ini suka yang romantik, suka kembali ke masa lalu, ke kenangan,” ungkap Agus K Saputra dalam acara Sastra Sabtu Sore, di The Gade Coffee & Gold, di BTP Tamalanrea, Makassar, Sabtu, 2 Oktober 2021.
Karena itu, lanjut alumnus Fakultas Ekonomi, Universitas Mataram (Unram) itu, ia memberi judul buku kumpulan puisi terbarunya, “Bermain di Pasar Ampenan”.
Buku terbitan tahun 2021 ini, merupakan buku keempat. Sebelumnya, ia menulis buku “Kujadikan Ia Embun” (2017), “Menunggu di Atapupu” (2018), dan “Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil” (2020).
“Saya dedikasikan buku ini kepada almarhum ayah dan ibu saya, juga kepada adik yang sudah berpulang,” katanya di hadapan penyair, seniman, jurnalis, akademisi, penggiat literasi, penulis, pendongeng, dan arsiparis yang menghadiri launching dan diskusi bukunya.
Acara Sastra Sabtu Sore dihelat Komunitas Puisi (KoPi) Makassar sebagai ruang interaksi dan apresiasi antara penulis buku dan masyarakat.
Kali ini, menghadirkan narasumber Agus K Saputra, sebagai penulis buku “Bermain di Pasar Ampenan” dan sastrawan, Yudhistira Sukatanya, dengan moderator, Melati Syahrir, dari Penyala Literasi (Nyali).
Rusdin Tompo dari KoPi Makassar, saat memberikan pengantar diskusi menyampaikan bahwa komunitasnya hanya grup WhatsApp yang coba mendinamisasi iklim bersastra di daerah ini.
Katanya, jika pegadaian menyelesaikan masalah tanpa masalah, maka KoPi Makassar menyelesaikan masalah dengan puisi.
Yudhistira Sukatanya, yang hadir sebagai pembahas buku, menyebut bahwa kegiatan seperti ini dibuat ringan saja, semacam bincang-bincang. Esensinya, puisi itu mempertemukan kita, sebagai pembaca dan penikmat sastra.
Penulis dan sutradara teater itu memuji Agus K Saputra yang dinilai produktif. Dalam tempo 4 tahunan, mampu menerbitkan 4 buku kumpulan puisi, di tengah kesibukannya sebagai pegawai BUMN.
Lelaki yang biasa dipanggil Kak Yudhi itu, bercerita, dia pernah ke Ampenan, tahun 1963. Kapal Pelni, KM Tobelo, yang ditumpanginya singgah, dalam pelayaran dari Jakarta ke Makassar. Kala itu, Gunung Agung di Pulau Bali meletus.
Menurut Yudhistira, diksi-diksi puisi Agus K Saputra seperti kata-kata yang biasa kita temukan sehari hari.
Terasa biasa saja, tapi musikal. Makanya, puisi-puisinya sudah ratusan yang dibuat musikalisasinya. Di Makassar, dahulu, sering ada kegiatan musikalisasi puisi.
Sanggar Merah Putih, yang pernah dia pimpin, katanya, mendominasi lomba-lomba musikalisasi puisi yang diadakan kala itu.
Agus jadi penyair bukan sesuatu yang given. Tapi melalui proses. Ia berteater dan pernah jadi wartawan.
Itu jadi modal baginya dalam mencipta puisi. Mata elang seorang jurnalis membuat dia melihat sisi-sisi kehidupan dan problematikanya yang kemudian ditulis dan dibagikan kepada kita, sebagai pembaca. Ia mengendapkan penglihatan dan pengalaman masa lalunya itu dengan baik.
“Puisi-puisinya yang terlihat sederhana itu sesungguhnya tidak sederhana,” papar Yudhistira.
Puisi yang sederhana itu, lanjutnya, dekat dengan kita. Agus K Saputra, dinilai tidak berusaha gagah-gagahan dalam bermain metafora.
Agus mengaku, ia banyak menulis puisi karena sering LDR (long distance relationship) dengan keluarga.
Ekspresi perasaannya lalu dituangkan dalam bentuk puisi. Puisi-puisinya sudah 197 judul yang dimusikalisasi oleh sahabatnya, Soni Hendrawan.
Soni merupakan teman sebangku Agus, saat dia masih duduk di SMPN 2 Ciamis. Sahabatnya itu, kini berdominisili di Sukabumi, dan punya sanggar bernama Bale Barudak.
Pria yang menyebut dirinya “musikalisator” itu menggunakan alat musik gitar bambu dan merekam musikalisasi puisi Agus K Saputra hanya dengan menggunakan gawai biasa.
“Dalam proses kreatif itu gunakanlah alat dan sarana yang kita punya. Itu pembelajaran yang saya dapat ketika puisi-puisi saya dimusikalisasi oleh teman saya, Soni Hendrawan,” katanya berbagi motivasi.
Menurut Agus K Saputra, begitu puisi-puisinya dimusikalisasi, maka tugasnya sebagai penulis selesai. Karena dengan begitu, pesan dari puisi-puisinya sudah sampai.