FAJARPENDIDIKAN.co.id – Fadli Andi Natsif tak menyangka akan didapuk membaca puisi di hadapan penyair, sastrawan dan seniman dalam acara Sastra Sabtu Sore, di The Gade Coffee and Gold, Tamalanrae, Makassar, Sabtu, 2 Oktober 2021.
Doktor bidang hukum itu mengaku hanya penikmat sastra. ia hadir lantaran diundang sahabatnya, Rusdin Tompo, dari Komunitas Puisi (KoPi) Makassar.
“Semoga komunitas ini terus berlanjut mengadakan Sastra Sabtu Sore, secara mobile di beberapa titik,” harap akademisi yang sudah terbitkan beberapa buku itu.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar itu bukan satu-satunya yang baru kali pertama baca puisi di depan orang banyak.
Founder Komunitas Anak Pelangi (K-Apel), Rahman Rumaday, juga mengaku ini pengalaman pertamanya baca puisi.
Biasanya, ia hanya memberi motivasi pada anak-anak dampingannya untuk tampil menunjukkan bakat mereka.
“Ini pengalaman pertama dan sejarah dalam hidup saya membaca puisi. Tiba-tiba diminta baca puisi di depan para tokoh Sulawesi Selatan,” katanya berterus terang.
Acara Sastra Sabtu Sore berupa peluncuran dan diskusi buku kumpulan puisi “Bermain di Pasar Ampenan” karya Agus K Saputra memang jadi ajang baca puisi lintas profesi.
Acara yang menghadirkan sastrawan, Yudhistira Sukatanya, sebagai pembahas buku itu langsung dibuka dengan pembacaan puisi oleh moderator, Melati Syahrir, dari Penyala Literasi (Nyali).
Aktor, seniman, dan mantan birokrat, Dr Syahriar Tato, yang mengaku lama tak lagi membaca puisi, juga didaulat baca puisi.
Ia lalu memilih puisi berjudul “Ketika Rasa Meninggalkan Raga” untuk dibacakan.
Jurnalis senior dan penyair Ahmadi Haruna, tak hanya membaca puisi tapi juga memberi komentar pada buku kumpulan puisi keempat Agus K Saputra.
Menurutnya, kata-kata dalam buku puisi “Bermain di Pasar Ampenan” sederhana tapi komunikatif sesuai latar belakang penulisnya sebagai jurnalis.
Wartawan media online, Arwan D Awing, tak bisa menutupi keterkejutannya, begitu disebut namanya tampil membaca puisi.
Katanya, tadinya ia mengira diundang hanya untuk meliput ternyata juga diminta membaca puisi.
“Saya ini jurnalis yang terjebak di sarang seniman dan budayawan,” kelakarnya, yang disambut tawa hadirin.
Goenawan Monoharto, yang baru saja menerbitkan majalah MACCA, selain membaca puisi, juga memberi catatan kritis pada acara bincang buku tersebut.
Seniman yang akrab disapa Pak Goen itu mengapresiasi puisi-puisi Agus K Saputra yang punya diksi dengan metafora sederhana tapi menarik dan kuat.
Idwar Anwar, punya pandangan serupa. Penulis buku seri “La Galigo” itu menilai diksi-diksi yang dipilih Agus K Saputra tidak lebay.
Tapi mengalir dan bisa mewakili perasaan serta suasana psikologisnya. Sehingga, siapa pun yang membaca puisinya bisa menangkap gejolak batin penulisnya.
“Kalau penyair jujur maka kita merasa seperti ada di situ. Setiap penyair pasti punya ciri diksi yang berbeda,” ujarnya.
Pendongeng Mami Kiko juga tampil membaca puisi dengan gaya khasnya. Sedangkan, St Ainun Jariah Rajab, finalis Duta Baca Sulawesi Selatan 2021, membaca puisi berjudul “Tubuh Kurus Terbujur Kaku”.
Ketika ditanya tentang proses kreatifnya, Agus K Saputra bercerita, dia berangkat dari orang yang ingin menulis.
Katanya, pintu masuk menulis itu membaca. Saat masih di bangku SD, dia sering diajarkan membaca cepat, diajak bercerita, dan membuat sinopsis atau ringkasan cerita.
Ada juga lomba-lomba seni yang biasa dilakukan di sekolah dan itu menjadi motivasi baginya.
“Saya biasa menulis di dinding Facebook, lalu diendapkan, kemudian dirapikan. Setiap ada inspirasi maka tulis saja. Nanti baru diperbaiki,” ungkapnya.
Ahmad Saransi, arsiparis Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulsel, mengatakan bahwa buku ini nanti akan jadi mata air peradaban.
Sebagai arsiparis, ia hanya ingin berpesan, berkaryalah dan lestarikanlah karya itu dalam bentuk buku.
Ia lalu mengutip peribahasa Latin yang berbunyi, “verba volant, scripta manent”. Artinya, kata-kata lisan terbang, sementara tulisan menetap. (*)