Sebab-Sebab Shalat Boleh Ditunda, Simak Penjelasannya

Terkadang shalat lebih utama untuk ditunda, bila ada hal-hal yang dianggap syar’i untuk menundanya. Bahkan dalam hal tertentu mengakhirkan shalat justru malah lebih dianjurkan, apabila ada alasan yang syar’i dan dibenarkan secara hukum.

Berikut ini Sebab-Sebab Shalat Boleh Ditunda, Apa Saja ? :

1.Tidak Ada Air

Dalam keadaan kelangkaan air untuk berwudhu, namun masih ada keyakinan dan harapan untuk mendapatkannya di akhir waktu. Para ulama sepakat memfatwakan bahwa shalat lebih baik ditunda pelaksanaannya, bahkan meski sampai di bagian akhir dari waktunya.[1]
Mazhab Asy-Syafi’iyah menegaskan lebih utama menunda shalat tetapi dengan tetap berwudhu’ menggunakan air, dari pada melakukan shalat di awal waktu, tetapi hanya dengan bertayammum dengan tanah.[2]

2. Menunggu Jamaah

Meski shalat di awal waktu itu lebih utama, kenyataaanya hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab ternyata Rasulullah SAW sendiri tidak selamanya shalat di awal waktu. Ada kalanya beliau menunda shalat hingga beberapa waktu, namun tetap masih di dalam waktunya.
Salah satunya adalah shalat Isya’ yang kadang beliau mengakhirkannya, bahkan dikomentari sebagai waktu shalat yang lebih utama.

وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ العِشَاءِ وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا

Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah suka menunda shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. (HR. Bukhari Muslim)

Baca Juga:  Renungan Harian Kristen, Minggu, 15 Desember 2024: “Layak di Hadapan Allah”

Bahkan beliau seringkali memperlambat dimulainya shalat bila melihat jamaah belum berkumpul semuanya. Misalnya dalam shalat Isya’, beliau seringkali menunda dimulainya shalat manakala dilihatnya para shahabat belum semua tiba di masjid.

وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ

Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau SAW melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim)

3. Tabrid

Terkadang bila siang hari sedang panas-panasnya, Rasulullah SAW menunda pelaksanaan shalat Dzhuhur. Sehingga para ulama pun mengatakan bahwa hukumnya mustahab bila sedikit diundurkan, khususnya bila siang sedang panas-panasnya, dengan tujuan agar meringankan dan bisa menambah khusyu’[3].

- Iklan -

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

إِذَا اشْتَدَّ البَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ وَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ

Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila dingin sedang menyengat, menyegerakan shalat. Tapi bila panas sedang menyengat, beliau mengundurkan shalat.(HR. Bukhari)

4. Buka Puasa

Terkadang Rasulullah SAW juga menunda pelaksanaan shalat Maghrib, khususnya bila beliau sedang berbuka puasa. Padahal waktu Maghrib adalah waktu yang sangat pendek.

Baca Juga:  Natal dalam Islam: Perspektif dan Penghormatan terhadap Isa Al-Masih

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama ia menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Makanan Terhidang.

Shalat juga lebih utama untuk ditunda atau diakhirkan manakala makanan telah terhidang. Beliau SAW juga menganjurkan untuk menunda shalat manakala seseorang sedang menahan buang hajat. Itulah petunjuk langsung dari Rasulullah SAW dalam hadits shahih :

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ

Tidak ada shalat ketika makanan telah terhidang. (HR. Muslim)

Maka mengakhirkan atau menunda pelaksanaan shalat tidak selamanya buruk. Ada kalanya justru lebih baik, karena memang ada ‘illat yang mendasarinya.
Dalam format shalat berjamaah di masjid, wewenang untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat berada sepenuhnya di tangan imam masjid.

6. Menahan Buang Air

وَلاَ هُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ

(tidak ada shalat) ketika menahan kencing atau buang hajat. (HR. Muslim).
Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Ibnu Abdin, Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar, jilid 1 hal. 66
[2] Al-Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, jilid 1 hal. 89
[3] As-Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, jilid 1 hal. 95./ana.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU