Dehaman berkali-kali salah satu orang di meja makan dengan empat kursi itu membuat tiga orang lainnya menatap penuh tanda tanya. Mamanya mendekatkan gelas berisi air ke arah anak perempuannya, khawatir jika ada tulang ikan yang menyangkut di tenggorokan anaknya.
“Kesangkut gajah tenggorokan lo?”
Yang ditanya menatap sebal pada Ian, kakak laki-lakinya, yang berada di seberang meja. Pelan ia meletakkan kotak beludru berukuran kecil di depan piring makannya, menunggu reaksi dari tiga orang lainnya. Hasilnya, Ian tersedak dan mama yang langsung memeluknya. Papanya belum bereaksi apapun, tersenyum pun tidak.
“Lo dilamar Nathaniel?” tanya Ian.
Brisia mengangguk mantap diiringi dengan senyum yang tak terbendung. “Kemarin malam pas lagi dinner. I didn’t expect that!” Tatapannya beralih pada papanya. “Pah, kata Niel kalo gada halangan, dia mau lamaran resmi bareng keluarganya minggu depan.”
Papanya hanya mengangguk-angguk kecil. “Adek udah lakuin syarat Papa?” Dahi Brisia berkerut, firasatnya tak enak. “Nathaniel harus melakukan serangkaian tes. Itu syarat dari Papah, nggak bisa diganggu gugat.”
“Niel sehat, Pah.” ucap Brisia meyakinkan.
“Kamu bisa jamin? Kalo yakin, seberapa besar rasa yakin itu?”
Brisia menatap nanar papanya yang undur diri dari meja makan, enggan untuk bedebat dengan dirinya. Mamanya menyusul tak berselang berapa detik. Pandangan Brisia memanas, setetes air sudah siap meluncur dari pelupuk matanya.
“Papa nggak mau punya cucu penyakitan, ya, Kak?”
Ian mengusap pelan puncak kepala adiknya seraya memberikan tatapan menenangkan. “Jangan ngomong gitu. Setiap ayah di luar sana pasti pengen yang terbaik buat anaknya, pun dengan papa.”
Brisia menyingkirkan tangan Ian, menolak untuk kembali diusap. Kemudian ucapan yang paling Ian hindari jika berbicara dengan adiknya, pagi itu keluar begitu saja. Kata-kata yang sudah lama Ian tak dengar. Di mana setiap mengatakannya, Brisia akan meneteskan air mata.
“Lo nggak akan tahu rasanya, Kak. Lo normal dan lo bebas sama siapa pun.”
*****
Sudah tiga hari sepasang anak dan ayah itu tak berbicara. Tiga hari itu pula Brisia memilih absen dari meja makan dan lebih memilih menyantap makanannya di kamar. Setiap kali melihat papanya, entah kenapa kaki Brisia langsung mengambil arah sebaliknya dari tujuan semula.
Namun siang itu, saat melihat papanya tengah bersantai dengan laptop di pangkuan, Brisia memberanikan diri berjalan melewati papanya tanpa sepatah kata pun. Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu seberapa cepat jantungnya berdetak kala itu. Dalam hati Brisia memasukkan daftar mendiamkan papanya adalah hal yang harus ia hindari.
“Ke luar ke mana, Dek?”
Gapaian tangan pada gagang pintu itu terhenti ketika suara papanya menginterupsi. “Ke tempat bunda Niel. Adek berangkat, ya, Pah.”
“Bisa ditunda, kan? Papa mau bicara sebentar.” Mendengar tak ada jawaban, papanya mengalihkan pandangannya pada putrinya yang masih terdiam di dekat pintu, lau memindahkan laptop ke sisi sofa panjang yang kosong. “Brisia Adrian?”
Damn. Tak ada bantahan yang bisa dilakukan jika orang tua sudah memanggil anaknya dengan nama lengkap. Brisia berjalan mendekat, mengambil duduk di depan papanya. Ia tahu papanya pasti akan berbicara serius sekarang, tanpa mama dan Ian. Hanya mereka berdua.
“Lamarannya jadi?”
“Nggak tahu,” jawab Brisia pelan.
“ Maaf ya …” Brisia menatap papanya. “Papah nggak pernah tahu kalo Papah nurunin penyakit sampai Adek lahir. Dua tahun pertama sejak kamu lahir, mamah kamu sadar pertumbuhan kamu cenderung lambat dan nggak terlalu aktif. Pas itu Papah biasa aja, nggak terlalu nganggep hal itu serius dan memaklumi kamu.
“Suatu hari, Adek nggak mau makan sama sekali dan badan Adek juga memucat. Kamu nggak tahu sekaget dan sebingung apa kita semua pas dokter bilang, kamu yang masih kecil, mengidap thalasemia minor. Papah lebih ngerasa hancur, kalau ternyata Papah yang nurunin ke kamu. Orang tua Papah, salah satunya, pasti pengidap thalasemia.”
Papanya menghela nafas pelan. “Andai Papa dan mama melakukan pemeriksaan sebelum menikah, setidaknya kami berdua tahu konsekuensi ke depannya bagaimana. Nggak bakal terkaget-kaget kaya orang linglung. Bersyukur Papa bukan pengidap yang varian mayor, bisa jadi bolak-balik ruma sakit kamu setiap bulan.” kekehnya di akhir.
Brisia diam. Hal ini lebih rumit dari yang ia pikirkan. Ia butuh Nathaniel di sampingnya sekarang, setidaknya akan sedikit tenang berada di pelukan kekasihnya itu.
“Ingat, ya, apa pun yang ada dalam diri calon orang tua, mempengaruhi kondisi calon anak di masa depan. Papa nggak benci atau ngak suka sama Nathaniel. Dia anak baik ”
ucap papanya diiringi senyum yang tulus.
Brisia tersenyum. Papanya benar. Orang tua mana yang akan tega melihat anaknya merasakan sakit padahal sudah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Brisia beranjak dari duduknya, mencium pipi papanya, dan tetap pergi ke rumah bunda Nathaniel seperti rencana awal. Dalam langkah ragunya, ia tersadar, ini sama saja seperti kisah cinta anak bungsu keluarga Adrian sedang berada di ujung tanduk.
*****