Lolongan mortir melaung tinggi. Raungan sirine memekak keras. Suara berondongan peluru terdengar dari halaman rumah. Aku segera lari untuk mencari tempat berlindung. Kutahu, di tempat ini bahkan di setiap sudut kota ini sudah tidak ada lagi tempat yang aman.
Lubang tikus sekali pun akan turut diperiksanya. Namun, aku juga tidak mungkin pasrah dengan keadaan.
Dari bawah kolong ranjang, aku memeluk erat tubuh Rawiyah, adikku. Aku katakan padanya bahwa itu bukan suara peluru, melainkan pesta kembang api. Aku terus membujuknya untuk berhenti menangis.
Sebab, aku tak ingin kami berdua mati di tangan tentara Zionis itu. Aku terus merapal doa. Seandainya terdapat alat canggih yang mampu menghitung seberapa banyak doa-doaku selama ini, mungkin lebih banyak dari puing-puing bangunan yang hancur bersebab roket yang mereka luncurkan.
Dari luar, terdengar suara jeritan menyayat hati. Sungguh, waktu antara Magrib dan Isya ini, aku merasa sudah berada di ambang kematian. Biar pun pasrah dengan kehendak-Nya, namun aku masih mengucap harap: semoga kiranya mereka tidak mengendus keberadaan kami.
Terdengar suara pintu didobrak. Derap langkah perlahan kian mendekat. Aku semakin gencar melesat kan doa-doa. Tangan kananku masih erat mendekap tubuh mungil Rawiyah.
Sementara tangan kiriku untuk menyumpal mulutnya agar berhenti menangis. Sungguh, aku tak tega melakukannya. Tetapi, aku juga tak ada pilihan lain.
Dari bawah kolong ranjang, aku melihat laki-laki bertubuh kekar menenteng senjata. Matanya awas menyelidik sekitar. Langkahnya semakin mendekati kami. Dibukanya selimut yang aku biarkan terulur ke lantai.
Tubuhnya menunduk. Laki-laki itu tersenyum menyeringai tatkala mendapati mangsa kecil yang tengah menggigil ketakutan di hadapannya. Namun, laki-laki itu tidak menembaki kami satu per satu. Justru ia merebut paksa Rawiyah dariku.
Tangis Rawiyah semakin menjadi. Aku berusaha sekuat tenaga merebut kembali Rawiyah dari manusia biadab itu. Tetapi, aku hanyalah bocah tujuh tahun, yang tentunya akan kalah bila melawan orang dewasa. Laki-laki itu langsung berdiri dan membawa pergi Rawiyah. Kulihat Rawiyah terus meronta dari dekapan laki-laki itu.
Tuhan, mengapa Rawiyah yang dibawa? Mengapa bukan aku saja? Rasanya aku ingin meraung-raung. Namun, entah mengapa tubuhku lemas. Air mataku juga kering. Malam itu benar-benar mencekam. Padahal selepas Magrib, aku masih sempat menyuapi Rawiyah. Namun, kini aku tidak tahu ke mana ia dibawa.
Kepergian Rawiyah membuatku tidak memiliki siapa-siapa lagi di sini. Ayah pergi bersama tentara Hamas dan hingga sekarang tidak ada kabarnya. Sementara ibu meninggal tiga bulan yang lalu bersebab delapan peluru yang bersarang di kepalanya saat ia melaksanakan salat Subuh.
Saat aku hendak mengambil wudu, betapa pilunya mendapati ibu yang sudah tewas mengenaskan di atas sajadah.
“Surga untukmu, ibu,” kataku saat mengelap darah segar yang mengotori sekujur badannya.