Sebuah Narasi yang Terluka

Di kota ini, segalanya terasa sebagai kesenduan. Jeritan anak-anak yang menggigil ketakutan. Tangisan perempuan-perempuan yang mencari perlindungan. Negeri bukan lagi tempat yang nyaman untuk menyulam kebahagiaan. Tidak pernah ada kedamaian. Tidak pernah ada ketenangan. Kota Suci ini seperti dosa yang pelan-pelan ingin dihapuskan.

Setelah tidak memiliki siapa-siapa lagi, aku meninggalkan kampung halamanku. Di Kamp Shati-lah sekarang aku tinggal. Tenda-tenda kecil yang tak terhitung jumlahnya berdiri memagari garis pantai Laut Mediterania.

Orang-orang pencari perlindungan berkumpul. Kamp pengungsian diwarnai duka dan luka. Anak-anak yang sudah tidak beribu dan berbapak. Para perempuan yang ditinggal mati suaminya. Orang tua yang kehilangan anaknya. Semua melebur luka dalam setiap cerita pilu. Pedih terasa begitu dekat. Melekat di setiap tangis yang tak tersekat.

Sejauh mata memandang, tampaklah bangunan-bangunan roboh yang tinggal puing berserakan. Dari tiap jengkalnya, ada darah mujahid yang turut memperjuangkannya. Tanah-tanah berwarna pekat menyimpan sejuta kisah getir. Bau mesiu yang menyengat. Kubangan anyir yang memuakkan. Juga mayat bergelimpangan adalah pemandangan biasa bagi kami.

Bila malam tiba, kami tak dapat tidur dengan tenang. Setiap kali hendak meletakkan kepala di atas bantal, ada serangan udara dan kami bangun dengan ketakutan. Pada lelap yang terenggut.

Pada mimpi yang tercabut. Rasa takut kembali memagut. Sirine itu meraung lagi. Nyanyian kematian menderu di setiap detiknya. Dalam cemas aku bertanya: Tuhan, siapa lagi yang pergi? Kota ini semakin rapuh. Jiwa-jiwa banyak yang terbunuh. Terenyuh!

Sudikah engkau menapak tanah yang telah ribuan kali tergenang darah syuhada? Sudikah engkau mendengar ratapan kemasygulan kami? Sudikah engkau menyaksikan kebiadaban yang lebih kejam daripada sekadar film yang pernah kau tonton di bioskop?

***

Subuh merayap lekat-lekat. Aku menatap gumpalan darah hitam di halaman Mushola Qubattushakhra di dalam kompleks Masjid Al Aqsa. Tanah masih basah. Pertanda darah belum lama tumpah. Dalam diam aku bertanya-tanya: apakah masih ada pertanda kedamaian di kota ini?

“Humayra, mari salat.”

- Iklan -

Terdengar suara dari belakang memanggilku. Rasa-rasanya aku baru saja melamun, hingga tak sadar azan Subuh telah berkumandang.

Di kompleks yang katanya tempat yang disucikan oleh tiga agama ini, aku bersimpuh di hadapan-Nya. Ada perih yang tersimpan rapat dalam tatapan netra. Dalam lamunan pengharapan, ada riuh tangis yang bergemuruh.

Hanya Dia-lah Tuhan tempat berserah. Tempatku mengadu keluh kesah. Ketika sujud dalam doa terpanjat oleh ucap. Langitkan pinta tuju arasy-Nya.

Keheningan Subuh yang syahdu seketika pecah oleh suara dentuman. Jemaah yang semula khusyuk beribadah, lantas berhamburan ke luar masjid. Aku melihat kobaran api menjilat-jilat dari halaman masjid.

Sepertinya ada serangan rudal yang baru saja ditembakkan. Api semakin berkobar. Pecahan peluru dan kaca beterbangan ke mana-mana. Suaranya memekakkan telinga. Orang-orang ketakutan. Seruan takbir tak kalah lantang diteriakkan.

Kami para perempuan hanya bisa berlindung di dalam masjid ini. Kami memanjatkan doa, dengan harap semoga Tuhan semesta alam memberikan perlidungan.

“Wahai Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jadikanlah kami hamba yang senantiasa istiqomah dan taat dalam beribadah kepada-Mu. Jadikanlah kami hamba-hamba yang senantiasa ikhlas menjalani setiap liku kehidupan yang fana ini. Naungilah kami selama di dunia, hingga kembali pada pangkuan-Mu, dan sampai ke janah-Mu.”

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU