Sebuah Narasi yang Terluka

Di kota ini, segalanya terasa sebagai kesenduan. Jeritan anak-anak yang menggigil ketakutan. Tangisan perempuan-perempuan yang mencari perlindungan. Negeri bukan lagi tempat yang nyaman untuk menyulam kebahagiaan. Tidak pernah ada kedamaian. Tidak pernah ada ketenangan. Kota Suci ini seperti dosa yang pelan-pelan ingin dihapuskan.

Kerusuhan berlangsung selama lebih dari tiga jam. Beruntung, tidak ada yang tewas dalam bentrok kali ini.

***

Masih sanggupkah engkau membaca narasi ini? Masih sanggupkah engkau mendengar jerit pilu yang kami rasakan selama ini? Lima belas tahun aku hidup di Kamp Shati, tak ubahnya dengan hidup di kampung halaman. Di Kamp Shati mimpi buruk baru tercipta.

Bayangan bejat tak beraturan menghantui ruang pikiran. Manusia-manusia berwajah malaikat namun berhati iblis berkeliaran.

“Nona cantik, bersediakah engkau bermalam denganku? Aku akan memberimu bantuan makanan dua kali lipat lebih banyak dari biasanya,” rayu Mahmed, relawan Bulan Sabit Merah yang sering diterjunkan di Kamp Shati, sambil menarik kerudungku.

“Tidak! Aku tidak akan menyerahkan kehormatanku kepada laki-laki iblis sepertimu!” sergahku dengan penuh amarah.

“Baiklah … tidak apa Humayra, aku tidak akan memaksa bila engkau enggan bermalam denganku. Masih banyak perempuan yang masih mengharapkan bantuanku.”

“Kau benar-benar laki-laki terkutuk dari neraka dan akan dikembalikan ke Jahanam!”

Bantuan makanan yang seharusnya kami terima dengan sukarela, justru menjadi momok menakutkan bagi para perempuan. Barangkali akan lebih baik mati terhormat bersebab kelaparan atau mati di tangan pasukan Zionis, daripada menukarkan kemaluan demi sesuap nasi.

- Iklan -

KOMPAK Yogyakarta, Juli 2021

Penulis: Finka Novitasari


BACA CERPEN LAINNYA DISINI

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU