Sehelai Pilu Memeluk Temaram Yang Redup

“Mak, lilinnya jangan ditiup, Gana. Takut gelap,” rengek Gana. Ia terbangun karena merasa suasana rumahnya semakin gelap. Sambil mengucek mata. Ia melihat ibunya mendekati lilin yang semakin pendek di atas tutup kaleng bekas.

Kala sunyi beralas temaram, remang mengalun sepi. Mengantarkan anak-anak pulang pada malamnya. Iringan suara jangkrik bagai symphony alunan musik syahdu mengusik keheningan. Mak Lasti masih terjaga menyiapkan masakan untuk ia jual pagi hari.

“Enggak, le … ini lilinnya mau Mak ganti dengan yang baru,” terang Mak Lastri, ia membawa lilin yang masih utuh.

Gana berdiri sempoyongan menuju Mak Lastri yang duduk di ambang pintu.

“Mak, ini sampai kapan, listrik di rumah padam?” Gana kemudian tidur di pangkuan Mak Lastri.

“Sabar, ya, le … ini Mak juga masih cari tambahan uang untuk bayar listrik dan kebutuhan hidup kita nanti,” jelas Mak Lastri dengan mengusap punggun Gana supaya kembali terlelap.

Matanya berderai melihat keadaan anaknya yang kian hari semakin mengurus, masa mudanya nelangsa, dihabiskan dengan hidup yang serba kurang. Suaminya juga tidak pulang- pulang selama lima tahun, alasannya merantau untuk menambah tambahan membeli sembako.

Namun, hingga kini Pak Bahrul belum pulang juga. Kehidupannya semakin runyam, saat Mak Lastri bekerja di pabrik dan karena pandemi. Pabriknya harus gulung tikar, ia bersama buruh yang lain harus dipulangkan dan diberikan pesangon.

Mak Lastri meneroka usaha pecel lele keliling. Meskipun masih merintis dagangannya, laku tidak laku tetap ia jalani. Ia juga hutang ke rentenir untuk menutupi kebutuhan sehari- harinya.

- Iklan -

Setiap hari dekolektor datang menagih, Mak Lastri hanya bisa membayar dengan janji- janji yang hingga akhirnya bunga peminjaman lebih banyak dari hutang sebelumnya. Kejadian tersebut membuat Mak Lastri kenyang dengan omelan dan gertakan dari dekolektor yang berbadan besar dengan wajah yang bengis itu.

Bertahan hidup selama pendemi di ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76. Orang-orang seperti Mak Lastri harus bertahan. Hidupnya seperti terombang-ambing, mengikuti aturan pemerintah yang tak jelas ini mau dibawa ke mana.

Perpanjangan PPKM dan lain sebagainya mencapai babak yang memaksa Mak Lastri harus lapang dada menerima cobaan dari Allah. Hidup di masa pandemi hingga saat ini, seperti kalangan Mak Lastri yang hidup susah semakin susah, lain halnya dengan mereka yang duduk di perkantoran yang semakin berjaya.

Kita memang diharuskan untuk tetap berkerja di rumah, tetapi bagaimana mereka yang harus berkerja di luar rumah dan berkeliling dari gang ke gang, dan jam saja dibatasi? Bertahan hidup pada era sekarang, seolah untuk hidup saja tak segan, mati tak mau. Saat semangat Mak Lastri surut, ranum indah senyum Gana seolah amunisi untuk semangatnya.

***

Hari kemerdekaan kurang seminggu, orang-orang bersemangat memasang bendera di tiang depan rumah. Sang saka merah putih meliuk di terpa sarayu, warnanya elok amat indah dilihat mata. Semua orang menyambut baik hari-hari kemerdekaan banyak harap yang tertanam di dalam hati para kaum minoritas.

Lain halnya dengan Mak Lastri, rumahnya tak ada bendera merah putih. Semua orang bergunjing di belakang Mak Lastri perihal ia tak memasang bendera depan rumahnya.

He, delok to Lastri ora masang bendera gae meringati Agustusan,” bisik Mak Tonah, terlihat sinis menatap pekarangan rumah Mak Lastri.

Walah, Lastri iki ora menyambut hari kemerdekaan ancene, ora menghargai pahlawan seng gugur demi kemerdekaan iki,” sindir Bu Yanti. Menambah panas berbincangan mereka.

Mereka yang berkerumun mengitari penjual sayur keliling. Sangat asik menggunjing Mak Lastri.

Wes to Mbak yu … wong perkoro gendero wae lo, gae bakasan. Bee Lastri kui ora duwe gendero,” sela Bu Wiwit menengahi perghibahan mereka.

Dari balik pintu Mak Lastri mendengar ucapan mereka, rasanya sangat sesak. Perihal bendera saja ia dibicarakan tetangganya. Mak Lastri kemudian mencari bendera di laci lemari kayunya. Bendera yang lusuh, warna sedikit pudar, dan sudah tidak layak untuk dikibarkan depan rumah.

Matanya perih, menahan debit air yang menggenangi pelupuk matanya. Mak Lastri memeluk erat bendera lusuh itu dan mulai menjahit dengan beberapa kain perca bekas ibu-ibu penjahit kampungnya.

“Mak, sedang apa?” tanya Gana, yang muncul dari belakang Mak Lastri.

“Mak lagi jahit bendera buat dipasang depan rumah,” jawab Mak Lastri. Ia menjahit dengan rapi dan teliti, supaya kain bekasnya tidak terlihat jika benderanya ditambal.

“Mak, kita enggak bisa, ya. Beli bendera baru?” ucap Gana tiba-tiba yang langsung menusuk relung hati Mak Lastri.

Mak Lastri terdiam, tangannya lemas, dan pikirannya kacau. Hatinya bergeming apakah mereka se-mlarat itu hingga membeli bendera saja tidak mampu. Hatinya berdebat mengenai hal itu. Perkara yang kecil tetapi jika dipikir-pikir bisa mengacaukan pikiran.

“Uangnya buat beli makan saja, le … ini Mak jago banget bisa menyihir bendera yang lusuh jadi baru,” bujuk Mak Lastri.

“Iya, Mak. Mak hebat banget, Gana bangga jadi anak Mak, bisa sihir bendera ini jadi baru,” ucap Gana tulus dari hatinya, wajahnya yang polos dan mata menunjukkan kejujuran.

Mak Lastri memeluk erat tubuh kurus anakknya. Perutnya mengecil seperti kekurangan asupan makanan. Semakin erat tangan Mak Lastri, ketika air matanya tumpah ruah di pipi hingga membasahi pundak Gana.

“Mak, jangan nangis, nanti Gana kalau sudah besar. Nanti Gana belikan bendera yang baru dan hutang Mak Gana yang bayar semua.”

Mendengar hal itu Mak Lastri hanya bisa menangis. Pikirnya bagaimana bisa anak sekecil itu memikirkan hal yang tidak ia sangak-sangka.

***

Malam hari Mak Lastri terbangun ketika mendengar Gana batuk-batuk, tubuhnya yang panas tinggi, dan hidungnya mengeluarkan cairan hitam kemerahan kental. Mak Lastri langsung panik, ia mengompres Gana dengan handuk dan air hangat. Ternyata hal tersebut tidak membuahkan hasil.

Gana menangis kesakitan, Mak Lastri menggendong tubuh kecil Gana dan mencari klinik yang masih buka. Semua menolak dengan alasan kliniknya sudah full dan tidak menerima pasien lagi. Mak Lastri sempoyongan menggendong Gana dengan berlari berpindah dari satu klinik ke puskesmas terdekat. Tidak ada yang membantu Mak Lastri.

Pencarian Mak Lastri berakhir di puskesmas dekat dengan perumahan, ia sampai jatuh di lobbi dekat pintu masuk karena kelelahan, ia menangis memohon untuk merawat anaknya yang sudah lemas. Perawat langsung membawa Gana yang sudah tidak sadarkan diri ke ruang IGD.

Setelah menunggu beberapa menit kemudian, dokter menemui Mak Lastri untuk memberikan kabar duka. Gana anak semata wayangnya meninggal di perjalanan menuju puskesmas. Kaki Mak Lastri lemas, ia terbanting di atas lantai puskesmas. Matanya kosong dan hanya perkataan dokter mengusik pikirannya, seolah ucapan dokter tersebut berulang- ulang di telinganya. Tak ada lagi air mata, sepertinya stok air mata kering sudah ia kuras.

Esok harinya, orang-orang berduyun-duyun menuju rumah Mak Lastri. Kali ini bukan bendera merah-putih yang berkibar melainkan bendera kuning tanda kematian. Lantunan ayat suci Al-Quran berkumandang di dekat jenazah Gana kecil, semua orang ikut mendoakan kepergian jagoan kecil Mak Lastri. Kerabat dekat berdatangan ikut bela sungkawa, atas kepergian Gana untuk selamanya.

***

Kematian adalah sebuah rahasia yang Allah berikan kepada kita. Apa saja yang kita lalui sekarang hanya ujian, bagaimana bentuk ketakwaan kita pada Tuhan seluruh alam.

TAMAT

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Sehelai Pilu Memeluk Temaram Yang Redup’ oleh Khirza Fahira Ariftama yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen majalah fajar pendidikan.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU