Sejak pagi buta, radio dan surat kabar ribut memberitakan kedatangan Jepang di Tarakan, Kalimantan Timur. Mereka digadang-gadang akan membasmi keberingasan Belanda, sebab mereka adalah saudara tua Hindia-Belanda. Mereka juga menjanjikan kemerdekaan kepada Hindia-Belanda dengan semboyan andalan mereka.
“Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia.”
Di bawah langit yang sama, di atas tanah yang berbeda, Ratmi sedang khusyuk mengganti perban tangan seorang pria usia tiga puluh yang lusa lalu terkena pecahan mortir. Meskipun pria itu tidak mengeluh, beberapa kali beliau mendesis pedih.
Begitulah keseharian Ratmi. Di pengungsian, mereka memiliki sistem berbagi tugas. Perempuan untuk urusan dapur beserta segala tetek bengeknya—mencuci, menjemur, bersih- bersih—, mereka juga dipasrahi urusan medis. Sementara laki-laki di urusan penjagaan.
Banyak dari mereka ikut angkat senjata.
Sore itu, Ratmi tentu sudah mendengar kabar bahagia itu, bahwa Belanda akan segera meninggalkan Hindia-Belanda. Sayangnya, kota tempat tinggalnya memiliki kondisi berbeda. Tentara Belanda belum ditarik penuh dari sana, masih ada beberapa dari mereka yang menetap dan membuat ulah.
Sungguh, doanya malam itu hanya satu. Ia ingin kotanya cepat-cepat dimerdekakan dari segala derita.
Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Lepas dari kandang buaya, masuk ke dalam kandang singa. Begitulah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan Hindia-Belanda, termasuk kota Semarang di mana Ratmi tinggal.
Pada awalnya, Jepang bersikap sangat baik kepada penduduk lokal. Mereka mengizinkan penggunaan Bahasa Indonesia yang telah lama dilarang pemerintah kolonial, mereka mengizinkan pengibaran Sang Saka Merah Putih, mereka juga menghapuskan sistem kasta sosial yang menginjak-injak harga diri pribumi. Lambat laun, Jepang menunjukkan tabiatnya yang ternyata tidak kalah biadab dari Belanda. Mereka benar-benar binatang.
Sudah sejak lama Ratmi bernasib ngenas, hidup terpisah dari keluarga dan berakhir tinggal di pengungsian. Bukan hal baru ketika suatu hari, ia ditawan dan dibawa ke pengungsian oleh pemerintah Jepang. Istilahnya, ia hanya pindah tempat tinggal.
“Cepat ikut kami!” gertak seorang prajurit Jepang ke muka Ratmi. “Matawa watashi wa anata no atama o uchimasu!2”
Sebenarnya, Ratmi tidak tahu menahu prajurit Jepang itu berkata apa. Yang jelas, ketika itu kepalanya ditodong sepucuk senapan. Siapa yang tidak mati kutu. Ia juga belum mau bertemu ajal—apalagi dalam keadaan konyol di tangan seorang prajurit Jepang.
*
Ratmi membawa sedikit harta yang ia punya. Beberapa helai pakaian, lima bungkus makanan sisa, kotak P3K, dan cincin pemberian ibunya yang pada akhirnya disita oleh prajurit Jepang yang bertugas.
Ratmi sempat menolak saat benda tersebut akan disita sebab itu satu-satunya peninggalan keluarganya yang ia pegang. Di sisi lain, cincin itu memiliki nilai sejarah. Kata ibunya, cincin itu turun-temurun dari sang buyut yang merupakan seorang ningrat.
Sayangnya, Ratmi dibuat tidak berdaya saat dihadapkan pada setali cambuk.
“Hallo, daar3! Kamu yang pakai tudung hitam!” panggil seorang gadis berkulit putih yang tubuhnya terbalut gaun bangsawan di suatu Senin pagi.
Ratmi merasa terpanggil. “Saya?”
“Iya, kamu.” Gadis yang jelas seorang keturunan Belanda itu mengangguk. “Apakah kamu masih punya sisa perban?” tanyanya.
2 Atau saya tembak kepala kamu 3 Hai, yang di sana!