“Insha Allah.” Ratmi merogoh kotak P3Knya dan memungut sisa perban yang ada. “Silakan.”
“Puji Tuhan, heel erg bedankt4!” ucap gadis itu gembira.
Ratmi hanya tahu sedikit kosa kata Bahasa Belanda sebab ia mentok mengenyam
Volkschool5. Meskipun begitu, ia paham gadis itu baru saja berterima kasih.
Itu adalah pertemuan pertama dirinya dengan Maria, seorang putri jenderal Belanda yang diculik dan ikut ditawan oleh pemerintah Jepang. Maria berselisih umur tiga tahun lebih tua dari Ratmi. Namun Maria enggan dipanggil dengan embel-embel ‘Zus’, ‘Nona’, atau semacamnya.
Mengesampingkan paras ayunya, bagi Ratmi, Maria adalah definisi putri yang sesungguhnya. Ia tidak merasa lebih tinggi dari orang Hindia-Belanda tulen, pun ia tidak menyombong tentang keturunannya. Tidak seperti beberapa sinyo yang punya darah campuran Belanda yang pernah ditemui Ratmi.
*
Pengungsian di mana Ratmi tinggal tidak pandang bulu. Banyak petinggi masa kolonial Belanda disiksa, diperlakukan semena-mena oleh Jepang. Seolah-olah mereka punya dendam kesumat.
“Ini lauknya aku bagi dua dengan kamu.” Ratmi memelas dengan porsi makan yang didapat Maria. Hanya setengah jatah pribumi.
“Tidak usah, Ratmi. Aku sudah kenyang. Tempe itu untuk kamu saja,” tolak Maria halus, namun tak diindahkan oleh Ratmi.
“Kita masih remaja, harus banyak makan.”
“Ya Tuhan, terima kasih, Ratmi!” Raut wajah Maria menggambarkan kebahagiaan tak berujung.
Ratmi mengangguk, tersenyum.
Entah bagaimana, kendati baru mengenalnya selama dua minggu, Ratmi merasa dirinya memiliki sebuah ikatan dengan Maria. Ikatan yang tidak bisa dijabarkan gadis sawo matang itu melalui kata-kata. Ia merasa telah mengenal gadis berambut pirang itu puluhan tahun lamanya.
Keduanya ditempatkan di barak yang sama. Di penghujung hari, keduanya konsisten bertukar cerita melalui bisik—bisa mampus kalau ketahuan prajurit Jepang yang berjaga.
“Kamu ingin tahu tidak Ratmi, benda berharga apa yang ada dalam ranselku ini?” tanya Maria seraya menepuk ransel merah yang setiap malam dijadikan tempatnya bersandar.
“Sepatu kaca?” tebak Ratmi, asal.
Maria tertawa, namun buru-buru diredam. “Aku bukan Cinderella, Ratmi. Aku hanyalah Maria. Aku tidak punya sepatu kaca.”
“Lalu, apa?” tanya Ratmi, menyerah.
Pada awalnya, Ratmi menebak itu adalah perhiasan. Namun, logikanya menolak. Jika jawabannya perhiasan, sudah pasti benda berkilau itu telah berpindah kepemilikan ke tangan prajurit Jepang sejak jauh-jauh hari.
Maria membuka ranselnya, kemudian mengambil sebuah kantung hitam kecil. “Ayah dan ibuku suka sekali bunga. Pekarangan rumah kami ditanami puluhan macam bunga,” beber Maria. Pipinya merah tersapu angin malam. “Di dalam kantung ini, ada bibit bunga krisan merah. Hanya barang ini saja yang bisa aku gapai di hari itu—di hari saat aku diculik orang Jepang.”
Maria berhenti sejenak.
4 Terima kasih banyak 5 Sekolah rakyat
Ia menghela nafas panjang. Cerita ini terasa sesak baginya, tetapi ia enggan meneteskan air mata. Ia tidak ingin menyurutkan semangat gadis belia yang sedang duduk di hadapannya.
“Namun, aku bersyukur. Mau tahu kenapa? Itu karena bunga krisan merah melambangkan cinta, persahabatan, dan harapan.” Maria mengeluarkan beberapa biji ke telapak tangannya. “Maukah kau menanam bunga ini bersamaku besok?”
Ratmi mengangguk.
Namun, tak pernah ia dapati hari itu ada. Saat matanya terbuka dari lelap, Maria sudah tidak ada di dalam barak, pun di seluruh pengungsian. Gadis bermata sayu itu bagai hilang ditelan Bumi.
“Nona Belanda kui wis dibekta mbek Jepang, mung aku njuk gung paham dibekta pundi, Nduk.6.” Begitu pengakuan Bu Mirah yang tidur satu barak dengan mereka berdua.
Beberapa hari setelah itu, samar telinga Ratmi menangkap kabar burung. Gadis-gadis yang hilang di pengungsian adalah gadis-gadis terpilih yang nantinya akan ditempatkan di rumah bordil. Jadi wanita penghibur.
Bahu Ratmi seketika lemas. Malam-malam berikutnya terasa sangat panjang.
*
Agustus, 2020
“Bunga krisan merah melambangkan cinta, persahabatan, dan harapan,” ujar nenek.
Beliau khatam menyelesaikan gambarnya, menutup sebuah dongeng panjang yang luar biasa.
Walakin lebih dari setengah abad telah berlalu dan nenek tidak pernah tahu lagi bagaimana kabar Maria setelah penjajahan Jepang—pun usai Indonesia merdeka—, Maria tetap melekat dalam hati dan ingatan nenek.
Nenek menyerahkan kertas penuh oretan itu kepadaku. Sepintas, kulihat setitik air terbit di matanya. Begitulah harga seorang Maria, yang diabadikan oleh nenek dalam wujud seikat krisan merah yang telah dirawatnya baik-baik selama puluhan tahun.
“Ah ….”
Dan dari kisah itu, aku menyadari begitulah cara nenek menyampaikan terima kasihnya kepada Maria, yang selama ini tidak pernah bisa diungkapkannya secara langsung. Dan bagi nenek, menanam dan menjaga krisan merah barangkali sama artinya dengan menanam serta menjaga sebuah harapan.
Harapan agar kelak beliau dipertemukan lagi dengan Maria. Meskipun harus menanti hingga kehidupan selanjutnya.
6 Nona Belanda itu sudah dibawa oleh Jepang, namun aku juga enggak paham dibawa ke mana, Nduk (panggilan anak perempuan (Jawa))
Penulis : Alir Bening Firdaus